Kembali

CERPEN, SASTRA, UKSW Tak ada komentar pada Kembali

Dengung sirene yang kian memekakkan telinga terasa mengoyak dada pula—setidaknya  menurut Enes. Hanya selang beberapa minggu setelah berhasil melengserkan kepala  keluarga, posisi ibu rumah tangga pun telah dikosongkan di rumah Enes. Sejak satu tahun lalu, umat manusia sibuk berperang dengan musuh tak kasat mata yang menyerang banyak  aspek kehidupan. Ayah Enes kalah dalam peperangan setelah berusaha menyelamatkan  banyak nyawa, bahkan sebelum sempat menyelamatkan wanita terkasihnya.  

Kekalahan dua figur hebat itu hanya mampu dikenang, bahkan tidak ada yang dapat  mengucapkan selamat tinggal dari dekat—termasuk Enes. Semuanya Enes hadapi sendirian,  tidak ada yang mengunjunginya setelah hari itu selain para pahlawan dengan pakaian super  mereka. Tentu saja karena mereka tidak sudi bertaruh nyawa. Klaim yang Enes buat sesaat  terasa dipatahkan pada suatu pagi saat kemunculan seorang pria tambun mengetuk pintu  rumahnya dengan tidak sabaran sambil menyerukan namanya. 

“Enes! Nes!” 

Meski lututnya terasa lemas dan matanya enggan terbuka lebar, Enes tetap memacu kakinya untuk segera menuju ke pintu depan. Tangannya gemetar kala memutar kunci, hingga  akhirnya kedua pupil gelapnya berhasil menangkap figur asing di hadapannya. 

“Sudah makan?” Pria asing itu melontarkan pertanyaan layaknya remaja yang sedang  kasmaran, jika dalam situasi normal mungkin Enes sudah tertawa terbahak-bahak. 

“Belum,” balas Enes sembari menerka sosok di hadapannya. 

“Ambil maskermu,” katanya. 

Enes mengangguk, nalurinya cukup buruk untuk situasi seperti ini sehingga tanpa menaruh  prasangka ia menurut saja. Perut Enes juga sepertinya menjadi pendukung terdepan setelah  dua hari belakangan hanya diisi air. Enes juga yakin, sistem pencernaannya bosan berhadapan  dengan mie instan hampir setiap hari sejak kepergian koki terbaik di rumahnya. Ia kerap  mendapatkan bantuan sembako entah dari siapa, satu kali seminggu. Meski tampak kurang  menjanjikan untuk memenuhi gizi, ia tetap mengonsumsinya karena tidak punya pilihan lain.  Sempat terlintas skenario mati kelaparan, namun jujur saja Enes tidak ingin akhir kisahnya  seperti itu. Setidaknya, ia ingin berakhir dengan kondisi yang sama dengan kedua orang  tuanya. Menjadi pahlawan. 

Mengabaikan isi kepalanya yang mulai berisik, tangan kurusnya mengambil masker medis  terbaik peninggalan Ayahnya, tak lupa membawa botol kecil berisi senjata ampuh untuk  terhindar dari musuh tak kasat mata.  

“Jangan sembarangan membuka pintu dan menurut begitu,” sambut pria asing itu ketika Enes  telah melaksanakan komandonya. Alis tebal Enes tampak naik sebelah. Jika ingin menipu  atau menculik, basa-basi seperti tadi tidak perlu dilakukan mengingat kondisi Enes yang  tampak seperti mayat hidup.  

“Suhar, adik Ibumu. Maaf terlambat, sebab jujur saja aku pun ragu untuk kontak langsung  denganmu.” Pria tambun itu menodongkan jari telunjuk ke arah dirinya guna  memperkenalkan diri. 

“Ya, siapa yang tidak,” balas Enes sembari mengangkat bahu. 

“Sudah menjalani tes?” 

“Ya, cukup rutin Paman?” balasnya ragu sekaligus canggung. 

“Bagaimana hasilnya?” 

“Baik, padahal aku berharap sebaliknya agar dapat menyusul Ayah dan Ibu.” 

Suhar meninju pelan bahu kanan Enes membuat anak itu terhuyung. “Jangan bicara  sembarangan.” Itulah percakapan terakhir yang Enes ingat sebelum ia secara sadar telah  berada di sebuah toko sembako. Toko itu berdiri kokoh di pinggir jalan raya. Bangunannya  cukup sederhana dengan bagian dalam yang luas, jika ditambah dengan kondisi lenggang seperti saat ini pembeli dapat memutari toko sambil mencermati rak dengan seksama seperti  yang dilakukan Suhar. 

Tampak pria itu memasukkan bubur dan mie instan dibarengi lauk kalengan ke dalam  keranjang belanja. Suhar juga mengambil tiga bungkus roti isi coklat, keju, dan kacang hijau.  Mata Suhar fokus menyisir rak untuk menemukan pengisi perut sementara tangannya sibuk  memasukkan banyak hal ke keranjang. Terakhir, Suhar turut memasukkan sepuluh butir telur  ke dalam kresek hitam. Entah apa yang akan ia buat dengan bahan-bahan itu, setidaknya ia  berharap semuanya cukup sampai minggu depan. 

“Antarlah ke kasir,” perintah Suhar membuat Enes tersadar dari lamunannya. 

“Banyak sekali,” gumam Enes. Ia tidak membantah sebab tubuhnya yang ringkih segera menuju kasir. Jarak meja kasir cukup jauh dari rak susu bubuk di mana Enes menerima  perintah, sehingga Enes tidak dapat melihat siapa yang menjaga kasir sampai ia benar-benar  tiba di depan mejanya.  

Seorang gadis bertubuh mungil dengan rambut ikal buru-buru memalingkan perhatiannya  dari televisi kecil di sampingnya. Siaran yang berlangsung menurut Enes tidak menarik,  hanya tampilan seonggok data dari mereka yang terinfeksi. 

“Mau bayar?” tanyanya singkat. 

“eh- ya…” Secepat kilat Enes mengosongkan keranjang belanja agar gadis itu dapat segera  menyelesaikan tugasnya. 

“Masih sekolah?” Gadis itu memulai dialog meski sambil kesulitan membaca tulisan tangan  ayahnya dalam buku lusuh bertuliskan daftar harga. 

“eh… iya, naik ke kelas sebelas,” jawab Enes pelan. 

“Wah, kebetulan sama. Kamu belajar di mana?” Manik hitam legam itu menatap langsung ke  pupil gelap Enes membuat jantung Enes berisik. 

“SMA satu.” 

“Eh? Anak MIPA?” 

“Bukan, IPS.” 

Gadis itu mengangguk paham, masih bergelut dengan kalkulator. “Aku punya banyak  kenalan di IPS tapi aku tidak pernah tahu bahwa ada kamu di sekolah bahkan sampai kita  belajar dari rumah,” candanya sambil terkekeh membuat Enes menggaruk kepalanya yang  tidak gatal. 

“Aku juga tidak pernah melihatmu,” balas Enes berusaha melanjutkan dialog, namun ia  dapati manik hitam legam gadis itu tidak seantusias tadi.  

“Sungguh, kamu pandai menyudahi percakapan.” Gadis itu membalas dengan nada prihatin,  manik hitam legamnya menatap lurus ke pupil gelap Enes. 

“Harusnya kamu bisa menyebutkan namamu, kelasmu, atau kamu bisa bertanya ‘eh kita satu  sekolah?’ apa saja deh.”

Telak. Anak laki-laki dengan kepala nyaris botak itu enggan menjawab lagi, ia merasa apa  yang gadis itu katakan benar adanya. Gadis itu pun tampak bungkam sampai ia selesai  memproses total belanja Enes—tepatnya Suhar.  

Transaksi selesai. Indra pendengaran Enes kembali menerima bunyi dari suara si keriting. 

“Namaku Cantik, dari kelas MIPA, dan ya kita satu sekolah. Kamu jangan sampai kalah  dengan keadaan, sejujurnya aku pernah melihatmu menerima penghargaan sebagai relawan  bencana.” 

Lagi-lagi alis tebal Enes menukik, tidak bertanya tuh batinnya. “Dengar deh, suatu hari nanti kamu akan berterima kasih padaku.”  

Enes membiarkan perkataan gadis itu mengambang di udara dan hilang dibawa angin. 

Keesokannya, pagi-pagi sekali Suhar kembali menjemputnya dengan mobil bak hitam.  Sebenarnya masih sulit bagi Enes untuk memproses kehadiran Suhar. Ia tidak pernah tahu  bahwa Ibunya memiliki adik. Namun, jika Suhar memang orang jahat mungkin seharusnya  Enes tidak perlu ikut dengannya hari ini. Enes merenungkan banyak kemungkinan tentang  Suhar, sehingga ia menunda keinginannya untuk keluar dari rumah. 

Anak itu menghela napas, pada akhirnya memutuskan untuk ikut saja dan menanyakannya  nanti pada Suhar. Dengan yakin (atau ragu), ia memutar gagang pintu disambut dengan Suhar  yang sibuk dengan ponselnya. 

“Aku terkejut kau mau keluar rumah,” ujar Suhar sambil memasukkan benda persegi pipih ke  dalam tas kecilnya. “Aku juga?” balas Enes ragu. 

“Aku tidak pernah tahu bahwa Ibu punya adik,” sambungnya membuat Suhar tertawa  terbahak-bahak. Wajah pria itu sampai memerah dan terbatuk-batuk sesekali. 

“Lalu kamu kira siapa yang mengurusmu ketika Ibu dan Ayahmu bertugas di luar kota? Siapa  yang menyiapkan fasilitas antar jemputmu? Yang mencarikan guru les? Yang merekomendasikan agar kamu masuk ke sekolah terbaik di Ibu Kota? Yang mengirimkan  stok makanan beberapa minggu terakhir?” 

Enes menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Entahlah, aku tidak yakin. Selain itu, apa kita  pernah bertemu Paman?” 

“Tidak. Tapi serius ibumu tidak pernah menceritakanku?”

“Begitulah.” 

“Menarik, kamu pernah bertanya?” 

“Ya tentu.” 

“Paman kecewa?” sambung Enes. 

“Tidak, aku adik ibumu. Paham betul jalan pikiran mendiang kakakku, asumsinya kamu akan  mencari tahu sendiri.” 

“Sayangnya ia tidak memberi petunjuk,” lanjut Suhar. 

“Sudahlah, ayo naikkan barang-barangmu. Nanti setibanya di rumahku kamu lihat sendiri.” 

Begitulah dialog yang mengguncang perut—setidaknya menurut Suhar berakhir. Mobil bak  itu melaju dengan kecepatan standar. Enes menopang wajahnya dengan sebelah tangan  mengamati keadaan di luar jendela. Jalanan tampak lenggang, warung-warung maupun  pedagangan kaki lima kehilangan pembeli. Cerahnya matahari pagi seolah tidak membakar  semangat mereka untuk menjemput rezeki, wajah mereka tampak lesu. Enes tidak tahu  bagaimana perasaan mereka yang dirugikan oleh sejak kehadiran musuh. 

Anak laki-laki itu mengingat dengan jelas kala ia tak segan-segan bertanya tentang  bagaimana kondisi sekitar, apakah ada yang bisa dibantu, bagaimana pendapat mereka, dan  banyak lagi. Kehadiran musuh membuatnya tak bisa berkutik dalam keadaan ini. Perkataan si  keriting bernama Cantik membuatnya berpikir. Enes sadar ada yang salah dengan dirinya.  

Satu tahun sejak hadirnya musuh tak kasat mata, keadaan berubah total. Pekerjaan dan  pembelajaran dilakukan dari rumah kecuali untuk para pahlawan, pembatasan dilakukan,  interaksi sosial berkurang drastis, pedagang kesulitan menjual dagangannya jika tidak  memiliki akses daring.  

Enes merasakan dampaknya pula, salah satunya adalah merasa dilumpuhkan begitu saja oleh  keadaan. 

Setelah hampir dua jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di sebuah desa. Tertulis di gapura  sambutan selamat datang, namun di bawah gapura terdapat palang dengan spanduk lebar  bertuliskan TAMU WAJIB LAPOR sehingga mengharuskan Suhar untuk turun dan  berhadapan dengan pria tua yang tergopoh-gopoh keluar dari pos. 

Tentu saja percakapan mereka sulit didengar sebab kalah dengan deru mesin mobil bertenaga  solar ini. Namun melihat raut wajahnya, pak tua itu menyimak Suhar dengan tenang. Enes  tidak tahu berapa menit mereka berbincang sampai akhirnya palang tersebut digeser oleh  lelaki jangkung yang entah muncul dari mana. Mobil bak kembali melaju, menyusuri jalanan  yang lebih sempit. 

“Ini desa tempat tinggalku yang akan jadi tempat tinggalmu.”  

“Selama liburan kamu akan menetap di sini bersamaku, setelah liburan kita kembali ke Ibu  Kota. Kita lihat apa yang bisa aku lakukan untukmu kali ini.” 

Enes bungkam, antara tidak paham dan tidak peduli pada poin selain bahwa ia akan menetap  di sini selama libur semester. Ia tentu tidak keberatan. 

Mobil yang ia tumpangi akhirnya berhenti di depan rumah berukuran sedang dengan cat biru  langit. Halamannya sangat bersih, selain itu Enes dapat melihat pantulan dirinya di lantai  teras. Pintu depannya polos tidak memiliki arsitektur khas, dibiarkan dengan warna kayu  namun tampak bersih. Rumah ini terawat dengan baik, setiap sudutnya sangat diperhatikan  oleh Paman Suhar. 

“Masuklah, bawa barang-barangmu.”  

Enes mengangguk mengiyakan lalu berjalan gontai ke dalam rumah sebab lelah. Matanya  terasa berat, namun ia harus membersihkan diri terlebih dahulu. Musuh ini—virus mematikan  ini membuatnya kerepotan sebab harus melaksanakan serangkaian prosedur pencegahan.  

“Sore ini kamu akan menggantikan tugasku untuk mengantarkan makanan-makanan ini ke  posko isolasi mandiri.” 

Enes menghentikan aktivitas mengeringkan rambutnya, berjalan mendekat meminta  penjelasan lebih lanjut. “Di sini ada posko isolasi mandiri?” 

“Ya, isinya tidak banyak sebab warga desa cukup tanggap. Nanti temui saja pak tua yang  menjaga gapura tadi, ia akan mengantarmu.” 

“Memangnya paman mau kemana?” 

“Tentu saja bekerja.” 

Alis tebal Enes menyatu sempurna, namun ia tidak ingin membuat pamannya kesal sebab  melontarkan pertanyaan terus-menerus maka ia bungkam. Pupil gelapnya memandang kresek 

besar berwarna putih tersebut. Rasanya sudah sangat lama tidak menginjakkan kaki keluar  rumah, apalagi berbicara dengan orang selain kedua orang tuanya. Ia merasa agak takut, dan  lagi sebetulnya Enes kesulitan menjelaskan perasaan apa ini. 

Ia menyisir ruang keluarga, tembok rumahnya bersih hanya dihias warna biru langit polos.  Tatapan Enes terhenti ketika ia menangkap potret keluarga di atas nakas. Terlihat semua orang di dalam potret tersebut menggunakan jas putih selain Paman Suhar. 

Enes memandang wajah kakek dan neneknya yang terakhir ia lihat saat berusia enam tahun.  Satu-satunya yang masih bisa ia lihat secara langsung tinggal pamannya. Enes tidak  menemukan potret lain dan berasumsi bahwa Suhar belum berkeluarga.  

Merasa sangat lelah Enes memutuskan untuk merebahkan dirinya di kasur kapuk yang telah  disiapkan untuknya. Matanya menatap lurus langit-langit dan pikirannya berkelana. Dunia  berubah sepertinya merupakan salah satu agenda untuk mengurangi populasi manusia di  bumi. Jika bisa, Enes akan melakukan tawar menawar dengan musuh agar mengizinkan dua  pahlawan itu tetap berpijak di bumi. Merasa jengah dengan khayalannya, anak itu  memutuskan untuk bangkit dari kasur. Sepasang kaki kurus mengantarkan empunya untuk  berkeliling di desa. Bermodal masker medis, ia menutup rapat pintu rumah dan menguncinya. 

Enes mampu merasakan ‘kebebasan’. Meski terhalang masker, ia menghirup udara sedalam dalamnya menyaksikan lapangan bola yang lenggang di hadapannya. 

“Hendak bermain sepak bola?”  

Terlonjak, Enes segera mencari sumber suara. “Halo?” sapa anak laki-laki yang kelihatan  sepantar dengannya. “eh-ya? Halo,” balasnya ragu. Anak itu mengenakan kaos putih lusuh,  dahinya tampak berpeluh, Enes tidak yakin akan mengingat anak ini jika suatu hari situasi pulih sebab wajahnya tidak kelihatan. 

“Namaku Hang, Hang Tuah.” Anak itu menunjuk dirinya sendiri sebab berjabat tangan  tampak seperti tindak kriminal saat ini. 

“Enes.” 

“Jadi apa kamu hendak bermain sepak bola?” 

Enes menggeleng, tangannya menunjuk ke arah lapangan. “Tidak ada yang bermain.” “Ya, bukan berarti tidak boleh.”

Alis tebal Enes kembali menukik tajam, menerka Hang akan melakukan apa setelah berucap  demikian. “Aku merasa canggung berbicara denganmu,” lanjut Hang. Ya sama batin Enes  membalas. 

“Sebab aku hanya dapat membicarakan sepak bola,” imbuhnya. Enes memandang lurus Hang  yang berjarak satu meter darinya. “Aku sudah lama tidak bermain sepak bola.” Enes  membalas tak kalah canggung. 

“Haha, benar kan… musuh itu benar-benar merubah banyak hal.” 

“Ya, bahkan badai yang pernah ku hadapi tidak terasa lebih menyeramkan dari sang musuh.” Hang tampak antusias. “Badai? Eh, tunggu sebentar apakah kau Enes yang itu?” “Eh-? Maaf aku tidak bermaksud menceritakannya, itu keluar begitu saja.” “Hey, jawab aku dong!” 

“Jika maksudmu relawan itu, ya. Aku salah satunya.” 

Hang berteriak heboh. “Suatu kehormatan. Pantas saja kamu turun dari mobil Paman Suhar.” 

“Dengar Enes, memang cara bicaramu jauh berbeda dari pidato waktu itu. Namun aku yakin,  kamu tidak akan kalah dari musuh ini, kamu tetap bisa menjadi relawan walau tidak ada  badai.” 

“Hang, aku sudah lama tidak menginjakkan kaki di luar rumah, terlebih ketika kedua orang  tuaku kalah telak dari musuh itu. Mustahil dapat kembali seperti saat itu. Mereka pendukung  terdepanku.” 

“Maka paman Suhar dan aku akan menjadi pendukung terdepanmu juga, lagipula kedua  orang tuamu pasti akan mendukung dari sana.” 

Enes menghela napas, “Sungguh Hang, maaf mengecewakanmu tapi kamu tidak paham apa  yang terjadi padaku saat ini. Bahkan aku pun tidak tahu mengapa sulit sekali untuk kembali  seperti dahulu.” 

Hang mengangkat sebelah alis, lagi-lagi mengarahkan telunjuknya kali ini ke arah Enes.  “Tapi kau baru saja bicara panjang lebar kepadaku, ya meski terasa sangat canggung. Namun  tentu saja, aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Jika soal canggung berintraksi aku rasa  semua orang pun begitu, keadaan memaksa kita memisahkan diri dari dunia luar. Menjauh 

dari percakapan sederhana yang kau jumpai di warung, rasa takut melahap semuanya. Wajar  saja kita jadi begini. Tapi berbuat baik bukan hanya soal bicara bukan?” 

Enes menggeleng, memutuskan untuk pamit pada Hang. Meski begitu, Hang tidak menyerah  ia tetap mengekori Enes dalam jarak 2 meter. Matahari semakin turun, menandakan Enes  harus melakukan tugasnya. Anak itu mengintip melalui jendela mendapati Hang berdiri menantinya. 

“Sedang apa?” 

“Hanya penasaran apa yang Paman Suhar perintahkan padamu.” 

“eh- tahu dari mana?” 

“Paman Suhar menceritakannya padaku, katanya ia akan membawa keponakannya yang  seusia denganku dan meminta bantuanku agar menemanimu dalam melaksanakan tugas.” 

“Ku kira kau hanya membicarakan sepak bola,” balas Enes dengan tatapan curiga. “Ya, tentu  saja. Tapi khusus Paman Suhar aku bisa membicarakan apa saja, dan sepertinya padamu juga  akan berlaku demikian.” 

“Kau menyeramkan. Seperti mata-mata.” 

“Baguslah, aku sempat berpikir untuk menjadi salah satu dari mereka.” 

Enes bergidik ngeri, memilih untuk menarik kresek putih besar itu ke teras. Setelah berhasil,  Enes kembali mengunci pintu rumah. 

“Oh, mengantar stok makanan,” gumam Hang saat Enes membawa kresek putih besar itu  bersamanya.  

Enes tidak menjawab, mereka terus berjalan menuju gapura. Tentu saja keduanya dipisahkan  oleh jarak. Setibanya di pos kuning, ia langsung melihat pak tua yang tadi. Persis, kembali ia  tergopoh-gopoh keluar dari pos. 

“Dia hendak mengantarkan makanan ke posko.” Hang bersuara terlebih dahulu sebelum Enes  mengeluarkan sepatah kata pun. 

“Oh, lalu? Mengapa tidak kau antar?” Pak tua itu kini berkacak pinggang menuntut  penjelasan. “Perintah Paman Suhar.” Pak tua itu mengangguk paham memutuskan untuk  mengantarkan Enes dan Hang ke posko isolasi mandiri. Mengejutkannya, Hang pamit di  tengah jalan. Enes kira anak itu akan mengekorinya sampai besok, tentu saja ia salah sebab 

Hang akan mengekorinya sampai ia kembali ke Ibu Kota dan itu akan menjadi cerita lain  waktu sebab kini ia sudah berhadapan dengan bangunan besar yang menyerupai puskesmas.  

“Ini poskonya. Berisi dua keluarga, sudah di sini selama delapan hari. Mereka semua tidak  menunjukkan gejala berat maka masyarakat memutuskan untuk merawat mereka agar dapat  memprioritaskan pasien bergejala berat.” Pak tua menjelaskan tanpa Enes minta. 

Enes merasa ingin sekali bertanya lebih lanjut, namun bibirnya terkatup rapat, semua pertanyaannya hanya menari di dalam pikirannya. 

“Makanannya gantungkan saja di pagar. Jika ditugaskan kembali, atau kalau pun tidak tapi  kau ingin mengetahui sesuatu atau banyak hal datang saja ke pos gapura.” 

“Te—” belum sempat menghaturkan rasa terima kasih, lelaki tua itu segera saja berbalik.  Enes menggaruk kepalanya yang kali ini betulan gatal. Seperti yang ia katakan, semua terjadi  terlalu cepat bahkan sampai ia belum dapat memproses semua kejadian. 

Kegiatan di sekolah dihentikan total, kedua orang tuanya jarang di rumah sementara Enes  selalu berada di rumah demi menekan penyebarannya, tiba-tiba saja ia ditinggalkan kedua  pahlawan kebanggaannya, kedatangan Suhar yang membawanya ke desa ini, hingga perasaan  yang sulit ia jelaskan. Marah? Sedih? Malu? Perasaan bersalah? Enes tidak dapat menyusun  kepingan di kepalanya dengan baik. 

Yang ia tahu semenjak musuh tak kasat mata menyerang, semangatnya lumpuh, ia bahkan  tidak dapat melakukan hal-hal yang ia sukai. Ia tidak pernah lagi berkeliling pasar menyapa  para pedagang yang mungkin sekarang sudah lupa padanya. Enes paham semua perubahan  yang ia alami menyeretnya untuk turut berubah. Perubahan yang kurang ia sukai. 

Bisa jadi Cantik dan Hang ada benarnya, dibalik itu semua mungkin Paman Suhar memiliki  rencana entah apa untuk mengembalikan Enes. Agar anak laki-laki itu membuka mata bahwa  ia sudah cukup lama melakukan perlawanan dari rumah dan saatnya untuk kembali. Menjadi  seseorang yang ia impikan sejak dahulu. Pahlawan. Seperti kedua orang tuanya.  

Enes menghela napas, hatinya diselimuti keraguan. Ia tidak berdiam diri tentu saja, meski harus melihat wajah Han yang ditutupi masker setiap hari ia tetap berkeliling desa mencari  jawaban. Berbagai hal ia lakukan di desa tersebut, meski tidak semeriah dulu senyuman  warga membuat hatinya dibanjiri rasa senang. 

Suatu hari, ia ditugaskan oleh Suhar untuk membantu seorang nenek untuk menyiapkan  dagangannya. Hang memang ikut, namun hanya memandang dari kejauhan agar tidak  menghambat pekerjaan. Sesekali Enes mencoba berbicara dengan nenek itu selama bekerja,  akhirnya Enes melontarkan pertanyaan yang ia pendam selama berhari-hari. 

“Apakah kehadiranku membantu Nek?” 

Nenek itu tersenyum mengangguk pelan. “Terima kasih,” katanya. Enes mau tidak mau  mengukir senyum, rasanya sudah lama sekali tidak melakukan ini. Sepulangnya, Hang  meledeknya karena anak itu melihat kembali binar kehidupan di mata Enes, tidak seperti  kemarin. 

Maka keesokan harinya, tanpa menunggu perintah Suhar, Enes tanggap menanyakan hal apa  yang bisa ia bantu di desa tersebut. Suhar menggeleng, hari ini tidak ada yang harus Enes  lakukan sebab pekerjaan Suhar telah selesai.  

“Memangnya paman kerja di mana? Apa pekerjaan paman?” 

“Yang jelas bukan pahlawan seperti Ibumu.” 

Kalau itu sih sudah tahu cibir Enes dalam hati, namun ia berniat untuk meminta maaf pada  pamannya, karena ketika ia berjalan-jalan keliling desa bersama Hang ia mendapati  pamannya ‘bekerja’. Pamannya juga pahlawan, bekerja dengan cangkul di tangannya untuk  menggali tanah yang tak jarang berlumpur untuk membantu menyediakan tempat  peristirahatan terakhir. 

Menyadari ketidaktahuan Enes, Hang menjelaskan bahwa Paman Suhar bukan sekedar warga  biasa. Memang ia tidak memiliki pekerjaan tetap, tidak memiliki gelar, bukan pula seseorang  yang menempati pemerintahan, tapi Paman Suhar adalah pahlawan desa. Ia pemuda yang  cerdas, sejak dulu membantu banyak orang untuk menyelesaikan masalah di desa kecil ini.  Sesederhana toilet yang tersumbat, hingga masalah penting seperti pengajuan pembangunan desa.  

Enes menggeleng, memangnya ada orang yang begitu? Bahkan kedua orang tuanya pun  dibayar mahal untuk menjadi ‘pahlawan’ namun Hang menjelaskan Paman Suhar sudah  hidup demikian sejak kembali dari Ibu Kota, ia tetap dibayar namun cenderung seikhlasnya,  sebagai hutang budi masyarakat setempat sering membantunya.  

“Mengapa dia mau hidup seperti itu?”

“Eh? Tidak salah? Kau kan keluarganya, bertanyalah.” 

Enes mendesis dalam jarak satu meter dibalas tawa ringan Hang. 

Malamnya, Enes takut-takut mendekati Suhara yang berkutat dengan ponselnya. Ia melihat  paman tengah mengerjakan sesuatu yang tentu saja tidak Enes pahami. 

“Sebenarnya apa pekerjaan paman?” 

Suhar menatap lurus ke arah Enes, hening sejenak sebelum ia meletakkan ponselnya di atas  meja. “Aku melakukan pekerjaan egois untuk kepentingan pribadi.” 

“Eh? Itu berbanding terbalik dengan yang Hang sampaikan.” 

“Yang Hang sampaikan adalah kepentingan pribadiku. Dengar Nes, pamanmu ini ingin hidup  enak. Hidup enak yang ku maksud yaitu melihat orang lain dalam keadaan baik, sehingga  kami akan hidup enak bersama. Tidak perlu terganggu karena tetangga bertengkar, penyakit  menular, maling, dan lain sebagainya. Itu cara paman, itu panggilan hati paman.” 

“Jadi benar, nyatanya paman juga pahlawan. Tanpa pakaian super.” 

Suhar terkekeh, “Sudah ku bilang aku hanya pekerja biasa yang memiliki kepentingan  pribadi.” 

“Aku sudah menemukan jawaban.” 

“Jawaban apa?” 

“Jawaban untuk…” Enes menggantungkan ucapannya, sebelum hatinya terasa menghangat  dan melanjutkan. 

“Kembali.”

Tentang Penulis 

Gladys Heinz Niviavitry seorang mahasiswi pendidikan yang lahir di Bangka Belitung pada  2003. Senang mengabadikan kisah di sekitarnya dalam bentuk tulisan, hingga memutuskan  untuk mendalami kesenangannya. Masih perlu banyak belajar. Amatiran ini aktif berkarya  dan karyanya dapat dijumpai di platform menulis secara daring yaitu wattpad. Saat ini  memiliki kesibukan sebagai salah satu redaktur majalah jurusan dan menulis artikel di sana.  Selain menulis, ia juga gemar membaca, berpikir tentang matematika, mengkhayal, dan  mendengarkan musik. Pembaca dapat lebih dekat dengan penulis melalui akun wattpadnya  @reductoo.

Juara Ke 2 SELOPEN

Leave a comment

Back to Top