Sisa Nestapa dan Asa

CERPEN, SASTRA, UKSW Tak ada komentar pada Sisa Nestapa dan Asa

“Aku tidak begini sebelumnya.” 

“Aku tidak begitu sebelumnya.” 

“Aku baik-baik saja kemarin.” 

Kalau dibiarkan suara-suara dalam batin itu cuma berkecamuk. Seperti penyangkalan, seperti  tidak terima, seperti kusutnya aku sekarang. Rindu masa lalu itu tidak masalah kalau sekali  dua kali. Tapi aku rindu, aku rindu setiap hari, atau malah setiap saat.  

tett..tett..tett!  

“Yahhh, kenapa sih istirahat cuma 15 menit?!” 

“Kalau seharian namanya libur, Michael.” 

Dave dan Michael itu paket lengkap kalau soal bercanda. Canda mereka hanya dimengerti  oleh orang-orang yang sudah mengenal mereka dengan baik pula. Apa yang dilontarkan  Michael disanggah cepat oleh Dave, dan sebaliknya. Tapi suasana kelas itu hidup kalau dua  sahabat itu bertingkah.  

Bermain game Werewolf dari ponsel Michael adalah kegiatan yang paling kami suka. Aku  sendiri suka bagaimana di game pertama aku dituduh sebagai wolf. Kemudian menjadi  pemain pasif, sebut saja ghost sampai game berakhir. Aku suka bagaimana kami berakting  sedemikian rupa sembunyikan identitas. Bahkan aku suka kala guru datang menegur  gaduhnya suara debat kami menggema sampai lantai satu. Cuma 20 orang dalam satu  ruangan, tapi kami dapat label “kelas 100 mulut”. Bercanda dalam ruangan itu adalah  istirahat kami.  

Cenayang, kalau berdasarkan pengertian umum dari google adalah orang yang bisa  memperkirakan masa depan. Kalau saja, kalau saja Michael itu cenayang dia tidak perlu repot  sekolah cari nilai. Cukup diam di rumah dan tarik orang buat diramal masa depannya. Tapi  perkataan Michael siang di akhir bulan kasih sayang itu bukan sedikitpun bisa dipanggil  cenayang. Ucapannya seperti di-iyakan semesta. Sebelum jam pulang sekolah kami dengar 

tentang rencana mendadak belajar dari rumah. Dimana nyatanya kami tidak pernah bermain  Werewolf lagi sampai tiba masa ucapan perpisahan. Aku tidak mau anggukan kepala tanda  setuju mencoba ide acaknya, yang berakhir jadi kompleks ubah banyak hal.  

“Aku pingin deh kita sekolah begini. Sekolah umum gini bukan privat. Tapi dari  rumah. Jadi kita gak perlu berangkat ke sekolah, dari rumah aja dengerin penjelasan guru.” 

Asing, pasti asing. Terima tugas dan penjelasan tanpa visual dari guru. Semuanya baru, tapi  bukan baru yang baik, karena 3 hari pertama sudah bawa aku tidak mengerti apa yang  seharusnya aku lakukan. Satu minggu berjalan, ada pikiran mulai terbiasa dimana aku bangun  tidak perlu siapkan perlengkapan, tapi kesepian itu juga mulai membiasa. Apa yang biasa  kami sebut bercanda hanya bisa dilihat dari balik layar kotak. Ekspresi dan nada manusia  tidak bisa disaksikan. Semua hanya berupa teks pesan.  

Rasa sepi dari rumah itu mulai menjadi-jadi. Di benak anak SMA usia 16 tahun tidak perlu  pergi ke sekolah ternyata menyenangkan cuma sampai minggu kedua. Sisanya adalah  kerinduan. Rindu segala tentang sekolah. Rindu teman adalah yang paling hebat gundahkan  hati. Kami, di kelas XI-MIPA II, sudah jatuh hati satu sama lain. Jatuh hati sebagai saudara  dan kawan seperjuangan.  

Satu bulan setelahnya kami mulai ungkapan rindu lewat frasa flashback. Kami mulai kenang  apa yang akan di lakukan di jam seperti itu. Michael, anak itu, dia sesali apa yang diucapkan  tepat sebelum perubahan ini terjadi. Angan kami setiap bangun adalah terima kabar esoknya  akan kembali ke ruang kelas. Harapan kami tingginya setara langit, pikiran kami sebaik baiknya orang bisa berpikir. Tapi sampai tanda kenaikan kelas kami terima dalam bentuk  dokumen yang terkirim lewat internet, belum juga ada indikasi baik sebagai jawabannya.  

Segala kehidupan hanya terhubung dari balik internet. Seakan kalau internet mati kehidupan  manusia tidak lagi bisa dideteksi. Segalanya cuma didasarkan pada on atau off sebuah  jaringan. Bisa tidaknya manusia ikuti perkembangan dunia dari sekadar tukarkan uang  dengan sebuah benang penghubung tak kasat mata. Terasa sekali ketika tatanan dunia  berubah inelastis. Satu masa yang aku mau ceritakan kepada mereka yang hidup di masa  depan. Pandemi, itu jawaban dari berubahnya kehidupan kami, kehidupanku, dan kehidupan  dunia. 

Satu hal baik tersisa, aku temukan sahabat baru, yang saat sekolah tidak seperti ini. Aku sebut  kami satu frekuensi. Belum pernah sebegitunya aku tertarik bahas sesuatu lewat layar ponsel.  Apa saja akan kami bahas. Hari senin tentang kenapa kepiting berjalan miring. Hari selasa  tentang kenapa manusia bisa berpikir ada alien di alam semesta. Hari rabu tentang kenapa  kami tidak banyak bicara bahkan ketika kami duduk bersebelahan. Begitu aku temukan  Christa Ayu layak sandang gelar sahabat baik. Dua tahun, dua tahun lewat aku disisakan satu  teman baik yang dengar banyak kisah sehariku.  

Satu lagi hal baik. Keterbiasaan manusia komunikasikan informasi lewat pesan tidak akan  putuskan hubungan. Fakta unik yang ternyata bisa tahankan esensial keterikatan. Siapa saja masih bisa berkabar karena satu alasan, terbiasa. Sebuah pesan itu bisa ditunda jawabnya.  

Bisa dilanjutkan kapanpun dimau. Christa kembali ke rumahnya di luar Jawa, jarak kami jauh  tapi persahabatan kami malah mendekat. Satu hari kami kumpulkan ribuan pesan. Tak sedikit  aku atau Christa unjuk kalau kontak dengan nama khas masing-masing jadi pemilik tahta  tertinggi pemakan penyimpanan pesan. Kepada dunia kami tunjukkan kalau aku—Velyn  Averina Hardjanto dan Christa Ayu itu sahabat baik.  

Kesibukanku soal studi setelah sekolah menengah cukup habiskan tenaga dan waktu.  Sayangnya dari semua yang bisa aku sibukkan adalah Christa yang langkahnya tidak sama  denganku. Christa tidak segenggam denganku karena berbagai hal. Banyak faktor sebabkan  dia harus tinggal sebelum melangkah pada studi universitas. Kami selalu saling ucapkan hal  ini,  

“Temenku itu cuma kamu ih sekarang.” 

Bukan dusta karena kami memang sisakan masing-masing sebagai teman setelah perpisahan  dua tahun itu. Tapi langkah kedepan pasti bawa temu banyak orang. Dimana kalau dipikirkan  lagi adalah aku yang pergi karena habisnya tenaga dan waktu tadi.  

Banyak prakata aku baca, memang beginilah kehidupan menjajak dewasa. Satu dua hal pasti  buat seseorang lupakan kesibukannya jika bukan tentang menjaring uang pasti tentang  bangun ruang untuk masa depan. Aku yang seharusnya lebih dahulu siap. Tapi jiwaku ini  seakan hidup di alam lain. Berbicara dengan orang baru lewat sebuah pesan ternyata  munculkan banyak pertimbangan dalam pikiran. Takut diintonasikan berbeda, takut diartikan  lain, takut apa yang dimaksudkan malah membias. Aku benci. Benci sekali kalau mau 

ungkapan hal harus punya banyak pikiran. Aku mau pakai pikiranku untuk hal lain, yang  pasti berarti. Bukan sekadar pikirkan reaksi orang dibalik layar ponsel yang terima pesan.  

Tidak mau lewat pesan. Tapi bertatap secara visual ternyata juga berbeda. Aku suka bertemu  banyak orang, sapa mereka dengan keramahan khas orang Jawa. Aku suka tunjukkan diriku  pada dunia. Aku suka tampil di depan banyak orang. Aku punya verbal komunikasi yang  menyenangkan. Aku merasa bisa berteman dengan siapa saja, dari semua kalangan usia dan  latar belakang hanya dalam 5 menit.  

Beraninya seorang Velyn labeli dirinya begitu, karena memang kenyataan. Hanya saja semua  cuma dahulu. Usia peralihan itu tentang cari jati diri. Tapi pernah lihat orang yang kehilangan  jati dirinya di usia 20 tahun?  

Velyn yang ceria itu sepi. Velyn yang talkative itu pendiam. Velyn yang suka dapat perhatian  itu tarik dirinya dari keramaian. Segala yang berkebalikan. Itu Velyn sekarang. 

Lagi, dari ketidakbisaan-ku berkomunikasi aktif masih ada hal baik. Christa, dia masih disana  dengan semua pesan. Dia masih dengar bagaimana satu hariku tidak bisa sapa siapapun.  Besoknya dia terima tangisku karena tidak punya teman kelompok. Christa punya 1001 cara  bawa topik random menyenangkan. Dalam benak aku tanamkan, aku masih punya sahabat.  

Sampai semua itu bukan lagi baik. Christa punya ruang. Christa punya alasan harus  menjaring pundi rupiah. Christa yang tidak lagi berada di balik layar ponsel satu hari penuh.  Christa yang tidak lagi tanggapi ceritaku dengan cakapan acak menyenangkan. Semua pasti  berlaku begitu. Hanya saja semua terlalu tiba-tiba. Aku benar-benar tidak terbiasa sendiri.  Aku dipaksa berdiri membawa diriku. Karena pada akhirnya, aku cuma punya diriku sendiri.  

*** 

Catatanku dibawah ini hanya secarik bagaimana aku berjalan. Tentang aku yang harus sadar  arti dewasa. Atau sekedar aku yang tidak siap tentang tidak bisanya lagi aku berkontak  normal seperti dulu.  

Kadang malam terang jadi sumber ketakutan. Aku suka malam tapi aku juga takut malam.  Kalau aku sendiri rasanya sakit. Tidak lama ada tangis teredam tanpa sebab. Hari pertama  begitu, aku lega. Tapi besoknya lega itu enggan hadir. 

Kadang aku merindu pada sembarang orang. Pikiran itu bawa diriku keluar tilik dunia.  Memilih barang di deretan shampo pusat perbelanjaan benar jumpakan aku pada banyak  orang yang bisa kusapa. Atau kadang Ayah dan Bunda yang sertakan aku dalam agenda  pertemuannya. Semua pikiran tentang aku bisa berkomunikasi itu terlukis apik di balik  imajinasi. Nyatanya aku habiskan seluruh energi hanya dengan sapa. Sampai titik dimana aku  butuh ruang hanya untuk aku dan diriku. Teman baikku, si ponsel kotak ini temani tidur  sampai surya sapa bumi lagi.  

Kadang hari di balik cakrawala itu cerah. Siang kelihatan lebih baik. Ayah Bunda yang  nikmati hasil karya olahan bahan masakanku dan kami yang tertawa bebas setelahnya. Ayah  Bunda, mereka yang buat hariku setidaknya tidak serendah itu. Dukungan dari dua orang tua  yang tidak ada habisnya, seperti cahaya kecil di sebuah ujung lorong gelap yang panjang.  Kasih sayang dari mereka yang masih bisa buat aku ucapkan kalau aku tidak sendirian. Tapi  segala kegundahan soal bagaimana berubahnya hidupku bukan sesuatu yang bisa  dikomunikasikan.  

Kadang aku atur hidupku baik sepanjang hari. Kemudian pukul 02:00 dini hari aku belum  terlelap. Bukan pikiran yang berkecamuk, hanya diam. Besoknya sama, hanya tentang pikiran  sehari menyesalkan satu perkara.  

Kadang hujan deras jatuh ke tanah. Dingin tapi nyaman, air-air itu bawa damai kala mereka  sampai. Menatap perlombaan menjatuhkan diri dari balik jendela jadi adegan terfavorit.  Rasanya tenang hirup manisnya bauran tanah dan air. Tapi sayang, siang yang aku suka itu  malah menggelap. Siapa yang berada diluar hukumnya akan berteduh. Tidak ada seorang  yang mau dilingkupi dinginnya air. Aktivitas kehidupan serasa berhenti. Lagi dan lagi entah  yang keberapa kali, aku seperti di tinggal sendiri.  

Kadang aku saksi dunia berjalan cepat. Semua pada tempatnya buat cari diri. Manusia jadi  ajang cepatnya perubahan. Dari kacamataku, aku lihat mereka bisa melangkah. Mereka  pijakkan kaki ikuti irama dunia. Apa yang aku temui hari ini, hilang esok hari. Aku bawa  praduga atas hari ini, malah tidak terjadi. Aku berjalan, tapi jalanku tidak mengarah.  

Kadang aku paksa pikiranku imajinasikan indahnya kupu-kupu setelah metamorfos. Lewati  satu fase buruk demi indah di depan sana. Nyatanya aku cuma terperangkap dalam ruang  hitam yang berputar. Nyatanya aku tidak bisa keluar.  

Karena nyata sebenarnya aku tidak pernah siap dengan sepi. 

*** 

“Velyn! Oit! Baru sampai juga kamu?” 

“Iya Lis, kamu juga?” 

“Sama, langsung ke aula tengah kan ya ini?” 

“Dari info sih gitu, kesana aja dulu mungkin.” 

Lisa Sadewi, teman pertamaku di hari orientasi siswa. Sepanjang jalan kami menuju aula  cuma ada cakapan klise tentang bagaimana kehidupan kami 7 tahun setelah perpisahan. Dari  hari kami nikmati game werewolf terakhir, sudah 7 tahun berlalu. Reuni atas hasil diskusi  panjang akhirnya benar terealisasi. Ada selubang rindu yang akhirnya bisa ditutup saat tatap  wajah 18 teman sekelasku yang sudah banyak berubah. 

“Masha Allah! Akhi Bayu, beneran jadi ustadz kamu sekarang?” 

Ngawur wae koe ki lek ngomong, enggak lah. Cuman gak cukur berewok karena  katanya istri yang ngidam.” 

Kami semua lepas tawa tulus karena muka masam Bayu yang tampilkan mimik terpaksa  bercorak ala orang timur tengah. Beberapa dari kami sudah temui ruang itu. Ruang masa  depan yang kami usahakan selama 7 tahun. Pembicaraan ini cuma bawa topik sederhana.  Tapi jadi berat waktu Michael celetukkan,  

“Sayang ya, kita gak lengkap. Kalau tau Dave mau pergi aku gak akan pernah  berdebat sampai bertengkar sama dia.” 

“Ikhlaskan ya Chael, Dave di atas sana pasti ikut bahagia lihat kita tertawa begini.” 

Theofilius, dia masih bijak layaknya seorang pemimpin. 2 tahun Theo bimbing kelasnya,  ucapan dan tindakannya tidak pernah berat sebelah. Waktu kesedihan datang tiba-tiba begini,  Theo juga yang bawa penenang.  

“Sudah 4 tahun sejak Dave pergi. Tapi gak ada satupun dari kita yang bisa mengantar.  Beneran ya, pandemi karena wabah penyakit ini cuma bawa kesedihan. Semua hal yang  normal jadi gak normal, berubah, segalanya udah gak sama sekalipun udah dibilang pulih.  Setelah selesai ngobrol nanti kita doakan kedamaian Dave dan keluarga, juga buat kita,  supaya gak ada penyesalan dan kesedihan yang berlarut.”

Khidmat, kami dengarkan sang mantan ketua kelas ucapkan prakatanya soal Dave. Dave itu  terlalu ceria buat direnggut masa mudanya. Daya semesta, siapa yang bisa tolak. Kami  berdiam cukup lama. Ada satu lagi rasa kosong yang berasa sampai palung hati karena  keadaan ini.  

Banyak hal sudah berubah, usia kami, pribadi kami, Dave yang pergi, dan gundah hatiku  yang tak kunjung damai.  

Nikmati secangkir latte hangat adalah satu-satunya cara yang bisa aku pikirkan sore itu.  Pertemuan kami bawa bahagia dan duka. Sudah diatas kepala dua, tapi kenapa aku ini belum  kunjung temukan diri yang nyata. Kalau habis sedih pasti kosong sekali di dalam hati. Aku  enggan kembali ke rumah, ke dalan ruang kamar yang buat aku makin merasa sendirian.  

~A voice called out to me in my dream 

And I woke up, feeling as if I lost something important~ 

Cafe sore di tengah kota Solo itu jadi temaram. Disusul kumandang lagu yang manjakan  pendengar. Tapi yang aku cermati adalah bagaimana lirik itu dibawakan menembus batinku  sampai ada rasa sakit di dalam sana.  

~I tried to go through my diary  

As I watch the blurred sunset  

Trying to wait for someone who won’t come~ 

Makin masuk ke dalam batin. Apa yang sebenarnya aku tunggu juga tidak jelas. Aku sibuk  dengan permainan pikiran sendiri. Aku bingung apakah aku sefokus Christa yang paham  prioritasnya adalah menebar jala buat jaring uang. Atau aku sudah coba bangun ruang masa depan seperti Bayu. Aku masih ada di awang-awang yang bahkan terjebak dengan pertanyaan,  kenapa aku kehilangan kemampuan sosialku hanya karena sebuah fenomena pandemi.  Sebenarnya apa yang aku tunggu?  

~You’re not alone…~ 

Kalau saja, kalau saja pria dengan gitar coklat yang senada dengan kemejanya itu tidak  vokalkan nada begitu bagus. Orang-orang di dalam cafe ini pasti ubah tatapnya padaku yang 

masih diam diri tapi alirkan air mata. Aku keluarkan semua, semua yang ada dalam benak  dan hati lewat air mata. Hanya karena sebuah lirik. 

~Don’t you worry, the dawn will definitely come after the night~ 

Sayangnya kegiatan diamku bersama air mata itu ditangkap sepasang bola mata dia yang  tengah jadi pusat perhatian. Aku dibawa kembali dari selaman sihiran suara dan lirik, yang  semakin aku dengarkan semakin dalam masuk menyesuaikan keadaan diriku saat ini.  Berusaha sekecap-kecap menangkap sadar. Tapi aku mau, mau dapat lega dan jawaban, aku  mau lihat pagi setelah malam yang panjang ini.  

~There’s no need for tears, because You’re not alone 

Because you’re not alone~ 

Aku harap juga begitu, aku harap aku bukan lagi sendirian. Aku harap ada satu hal yang usir  kosongnya batin. 

Akhir pekan bulan Juni ini aku putuskan sebagai cuti pertama yang ku ambil. Dari segala  kegiatan sebagaimana mestinya manusia, aku lupakan tentang mengistimewakan diri sendiri.  Ambil sebuah waktu untuk liburan dan lihat dunia yang tidak lagi dibatasi seperti 3 tahun lalu.  Dari semua tempat yang layak buat disebut liburan, aku malah terdampar di cafe yang  runtuhkan pertahananku karena penyanyinya. Satu bulan, ternyata cukup buat aku rindu.  Rindu tentang apa aku juga masih sangsi, tapi suara dan lagu itu aku mau dengar lagi. Aku  mau cari pembelaan kalau aku tidak sendirian dan kosongnya diriku bisa penuh lagi. Atau  aku rindu dengan dia yang lantunkan suara berat merdunya dengan senyum seteduh pohon  rindah di tengah siang. Senyum kala Ia nadakan you’re not alone datangkan friksi aneh, aneh  yang menenangkan.  

Mau disebut alasan apa seorang gadis yang duduk selama 4 jam di dalam cafe. Sesekali  berkutat dengan ponsel. Sesekali juga tatap jalanan dari balik pintu kaca. Sesekali juga  sembunyikan kepala dianatara kedua lengan. Bahkan waktu bukan lagi sore, larut sudah sapa  bumi, tapi aku tidak bergerak se-inchi pun.  

“Kak maaf permisi, Kakak lagi menunggu orang atau bagaimana ya?”

“Ehh, maaf juga, engga kok Mbak. Saya cuma mau disini saja, saya menginvasi  tempat ya dari tadi?” 

“Enggak Kak, jangan khawatir. Cafe nya masih luas. Cuma saya perhatikan Kakaknya  tidak berkegiatan jadi siapa tahu saya atau pegawai lain bisa membantu sesuatu. Kalau hanya  mau menikmati waktu, sangat dipersilahkan kok Kak, monggo, cafe nya masih tutup sampai  satu jam kedepan.” 

Aku cuma beri anggukan dan pengiyaaan seadanya. Ada perasaan tidak enak sebenarnya, tapi  masih ada satu hal yang aku tunggu. Mau tanyakan tentang penampilan saja sungkan apalagi  tanyakan manusianya. Usiaku ini sudah berjalan ke arah 24 tahun, tapi keterbelengguan sosial  masih abadi. Sekedar mau hampiri dan dapat kepastian saja aku dilingkupi keraguan dan  ketakutan. Begitu cerita hari ini berakhir bersama Velyn—penunggu cafe selama 5 jam penuh  yang akhirnya punya keputusan pergi sebelum diusir.  

Aku biasanya baca tentang “semesta yang bercanda”. Tapi tidak ada besit pikiran kalau aku  akan alami sendiri. Di balik kasir uang itu berdiri dia yang aku tunggu suaranya. Masih  dengan senyum yang bertahan, persis dan tidak berubah seperti satu bulan kemarin. Apron  hitam itu tutupi hoodie putihnya.  

“Kakak mau pesan lagi?” 

“Satu hot caramel macchiato di take away.” 

Ada pesanan tambahan Kak?” 

“Enggak, itu aja, terimakasih.” 

“Siap Kak, silahkan ditunggu dulu ya.” 

Ternyata matanya hilang kalau dia maksimalkan senyum.  

“Kak silahkan pesanannya.” 

Jelek sekali sikapku yang cuma melangkah dan sodorkan kartu sebagai ganti satu cup kopi.  

“Kakak pelanggan terakhir lho hari ini, terimakasih sudah menikmati hidangan dan  tempat kami.” 

“Sama-sama.”

Kalau Velyn yang dulu pasti dengan ceria ucapkan, “Wahhhh? Terhormat banget aku bisa  jadi pelanggan terakhir, tapi itu bukan sarkasme karena aku jadi penunggu cafe kan?  blablabla….” Benar-benar hilang sudah. Velyn ini singkat dan seperlunya saja saat bicara. 4  tahun di bangku universitas dan 1 tahun bekerja tidak ada satupun sisakan seorang yang mau  melekat sebagai sahabat. Segala interaksiku terdengar profesional, over professional. Tapi  aku pusatkan kesalahan pada diriku yang berubah, seperti hari ini. Alih-alih tanggapi dengan  selera humor yang sama, aku cuma tampak jadi orang saklek pasif.  

Langkahku cari kendaraan di seberang cafe yang dibundari taman ternyata dibarengi  sepasang sepatu yang langkahnya menyesuaikan diriku.  

“Mbaknya parkir dimana?” 

“Seberang taman sana.” 

“Aku barengin boleh to ini?” 

“Iya, silahkan saja, kamu juga mau pulang?” 

“Nah sudah sampai itu pasti motor kamu karena itu satu-satunya disini.” “Iya bener. Tapi kamu malah ucapkan hal lain timbang jawab pertanyaan saya.” “Hahahaha, maaf, bukan bermaksud gak mau jawab kok. Enggak, saya gak pulang.” “Terus kenapa kamu ikut sampai sini?” 

“Gak ada alasan spesifik, saya cuma mau anter pelanggan yang pergi di jam 11 malam,  seenggaknya sampai pelanggan itu bisa dipastikan bertranspotasi.” 

“Ah begitu, terimakasih perhatiannya. Saya permisi dulu.” 

Ada sejeda hening.  

“Kenapa hari ini tidak ada lagu seperti bulan lalu?” 

Si dia yang sudah lepas apron sejak keluar cafe denguskan tawa kecil tapi seakan tahu  segalanya.  

“Jadi dari tadi Mbaknya ndak pulang karena menunggu perfom saya seperti bulan  lalu?”

“Sebenernya nggak mengarah kesitu, tapi kalau kamu mau anggap begitu, nggak ada  masalah juga.” 

Lagi, dia denguskan tawa. Kali ini cuma lebih lebar sampai sipitkan matanya tipis dan ada  guratan kecil di pangkal hidungnya. Perkara satu pria ini aku jadi sadar betapa aku tidak  perhatikan lagi baik-baik wajah manusia selama ini. Tapi malam ini aku bisa dan aku mau,  lihat semua detail penyanyi cafe yang potongan rambutnya serapi tutur katanya.  

“Ini hari Minggu malam Senin. Sedangkan penampilan musik cuma dijadwalkan hari  Jum’at dan Sabtu malam saja, Mbak.” 

“Ah begitu, mungkin lain kali aku bakal datang lagi, mungkin juga saat jadwal  penampilan.” 

“Silahkan, datang lagi kapanpun Mbak mau. Cafe kan memang buat umum?” 

Kerlingan matanya itu aku tau dia coba ajak akrabkan diri. Hanya benteng yang aku bangun  sendiri dipoles kuat, sampai candaan itu lagi lagi cuma kubalas senyum sekenanya.  

“Terimakasih, saya permisi kalau begitu.” 

Tiba-tiba dia ulurkan tangan kananya rapi.  

“Danu Pradipta Wiharja.” 

“Tiba-tiba?” 

Basic supaya kalau ada orang lewat tanya saya nggak dianggap orang jahat, karena  ada alasan udah tahu namanya.” 

Dia ini, aktif. Bicaranya tidak pasif. Suka beri tindakan yang tanpa aba-aba sebelumnya.  Sekalipun minimalis, tapi ada humor yang mau dia ciptakan supaya ada tawa, usir canggung  juga. Tapi begitu mungkin sebagian dari keharusan lakon pekerjaannya.  

“Kalau saya gak memperkenalkan diri balik, kamu marah gak?” 

“Lhoh, ya enggak sama sekali dong, Mbak. Cuman nanti saya gak bisa bilang saya  kenal Mbaknya.” 

Aku baru temui dua kali orang ini. Tapi bibir ini mau beri sekelebat senyum yang keluar  tanpa diperintah seperti biasanya. 

“Irit ya, senyume.” 

“Memang begini. Kalau begitu saya permisi, terimakasih niat baik mengantarkan dan  juga perkenalannya.” 

Sebuah tundukan kepala akhiri percakapanku kami malam itu.  

Sisa cuti yang terpakai 2 hari artinya cuma 5 hari tersisa. Apa yang bisa dituju dari sisa waktu  sesingkat itu. Jogja jadi jawaban terbaik buat lepas penat keluar Solo. Sekalipun 4 tahun aku  juga mendekam disana buat rampungkan pendidikan tinggi. Cuma, semua tentang Jogja itu  dimataku manis. Kalau bisa aku pasti bakal pilih menetap dan dapat pekerjaan disana.  

Biar lengkap khas orang liburan yang niatnya memang mau berlibur. Tinggal di hotel dan  susun jadwal perjalanan itu sempurna. Bahkan seluk beluk Jogja sudah aku kunjungi tapi  supaya hari libur bisa disebut begitu, aku tetapkan apa yang harus aku kunjungi selama 4 hari  ini. Suasana hati yang baik sejak malam pria penyanyi hantarkan aku itu masih bertahan  sampai hari ini. Bahkan masih ada niat mau kunjungi akhir pekan cafe tengah kota. Suara  orang itu layaknya mantra yang punya daya sihir, yang herannya ada perasaan penuh di  dalam batin. Meski sebenarnya aku malu setelah ditangkap basah berderai air mata karena  sebuah lagu. 

“Kalau saya mau tuduh, saya mungkin bisa bilang kalau kamu penguntit.” “Saya juga bisa balikkan tuduhan Mbaknya.” 

Nyatanya niat semesta yang bisa tarik benang apa saja itu munculkan semua  ketidakmungkinan. Otak ini aku ajak berpikir dari segala kejadian aku bisa berakhir satu meja  makan dengan pria—Danu Pradipta Wiharja. Nama yang melekat sejak hari Minggu kemarin.  

“Sudah saya bilang, Mbak. Alangkah lebih baik kalau setidaknya kita saling tahu  nama, kalau begini ini, kan repot. Kalau kenal kan bisa menanggulangi sesuatu tah?” 

“Ralat, tahu.bukan.kenal” 

“Sama saja, Mbak. Intinya kan begitu. Apalagi saya lihat dari kemarin, Mbaknya ini  cuma sendirian.”

“Jadi maksudnya kamu ada niat buruk, gitu ya?” 

“Salah pahamin aja terus, Mbak, gakpapa, memang tabiat saya kayaknya terima  kesalahan.” 

Aku ulaskan tawa kecil sebelum kembali menyendok kue potong. Tapi otakku masih  berkelana berpikir keberadaannya saat ini di seberang itu nyata.  

“Kamu juga liburan kesini?” 

Pria itu, dia malah beri tatap terkejut seakan aku ucapkan hal yang lebih mustahil dibanding  pertemuan kami.  

“Mana ada orang Solo ke Jogja buat liburan, Mbak.” 

“Tapi kan liburan bisa ke mana aja.” 

“Ya bener memang, tapi kan saya cuma dari Solo. Ke sini itu buat ketemu klien  supplier biji kopi.” 

“Pekerjaan kamu kompleks ya? Dari penyanyi cafe, jaga kasir, bahkan ketemu klien  di Jogja.” 

“Ya jelas, wong saya memang owner nya.” 

Ah pantas, Danu Pradipta ini bisa berkeliaran sesuka hatinya, beralih tugas semau jadwalnya.  “Kalau begitu, saya duluan, Danu Pradipta. Tak kembali ke hotel dulu.” 

“Mbak. Mbaknya kelihatan serius, dua rius, bener-bener lagi liburan kalau ngomong  begitu.” 

“Memang ada dari mimik muka atau perkataan saya kelihatan bercanda?” 

Sekarang pukul 21:00 WIB dan si pemilik cafe tengah kota ini berdiri di balkon seberang  kamar hotelku. Setelah membuntuti dan alirkan pembahasan yang bahkan aku tidak turut  andil banyak tanggapi. Dia dan pikirannya, dia dan perkataannya, dan dia dengan seluruh  tingkahnya. Saat ini disini kami, tatap gedung-gedung tinggi Jogja dan kendaraan yang  

berlalulalang bersama diri dan segelas kopi. 

“Danu Pradipta, kamu tadi seperti remehkan saya soal liburan orang Solo ke Jogja.” 

“Kaku banget, Mbaknya. Kalau soal liburan karena memang aneh, siapapun yang  dengar pasti juga heran seperti saya.” 

“Tapi gak ada yang aneh kalau sudah jadi budak korporat yang dikejar waktu, dan  kalau kaku, ya saya memang begini.” 

“Apaan begini, padahal saya lihat Mbaknya kalau bicara ke orang tutur katanya halus,  bisa atur ekspresi juga.” 

“Saya? Enggak. Saya cuma bisa bicara kalau perlu, sisanya kalau butuh.” Ada hening jeda yang datang lagi. Hanya ada ramai kendaraan di bawah sana.  

“Kalau kamu, kamu itu aktif, bahkan saat aku gak tanggapi semua monolog kamu,  kamu masih kekeuh ajak aku bicara.” 

“Kata siapa saya berusaha ajak Mbaknya bicara?” 

Kerlingan jahil itu sapa mataku sekali lagi.  

“Hahahaha, saya bercanda Mbak. Tapi soal saya yang berusaha ajak bicara, itu gak  sepenuhnya benar karena saya memang mau bicara. Saya suka beri banyak prakata ke orang orang di sekitar saya. Apalagi mereka beri reaksi entah itu ulas tawa sekalipun kecil, yang  penting saya sudah buat usaha. Terutama kalau mereka sedang sendirian, saya berusaha biar  jadi teman meski sesaat, saya gak maksud menggoda lho ya, jangan di salah pahami.” 

Makin di di dengarkan, suara pria ini makin ada merdunya. Bahkan ketika bicara seperti ada  nada yang bisa penuhi sebuah lubang kosong. Tutur katanya yang banyak itu menimbun.  Sampai aku pikir kalau dia masih bicara, hatiku yang ada ruang kosong itu bisa penuh dengan  kata kata.  

“Gimana?” 

“Gimana apanya, Mbak?” 

“Gimana rasanya jadi orang aktif seperti kamu?” 

“Oh, eumm, saya juga jadi bingung sendiri. Mungkin yang bisa saya simpulkan itu  begini, bicara dengan orang lain itu layaknya baca buku. Kan membaca buku itu jendela 

dunia tuh, kalau kata peribahasa gitu. Nah kalau berkomunikasi itu menurut saya bukan  sekedar teori, kadang tanpa menjalani kita bisa dapet pengalaman tiba-tiba sebagai hasil  cerita dari orang lain. Kadang juga, kita dapat wawasan atau bahkan kita bisa dapat pengingat  diri.” 

“Dulu, dulu saya juga bisa begitu. Mungkin kamu gak percaya, kalau saya juga  pernah aktif begitu. Pernah jadi orang paling ceria yang suka jadi pusat perhatian. Tapi,” 

Sekarang yang ada di otakku kosong, setelah 3 kali kami bertemu, aku cuma mau mengalir  malam ini. Di awang-awang aku tiba-tiba ceritakan semua hal yang ganggu hidupku sampai 7  tahun ini. Dia tidak tuntut, tidak potong bicaraku, dia duduk di kursi balkon seberang tetap  diam tapi kelihatan fokuskan pikirannya pada sebuah suara. 

“Tapi, dibatasi pertemuannya selama 4 tahun berhasil buat diriku yang aktif itu ikut  terbatasi juga. Komunikasi lewat pesan itu kayak setel otakku ke mode beginilah manusia  hidup. Lucu gak sih? Cuma gara-gara sebuah fenomena aneh yang anehnya lagi ubah tatanan  kehidupan. Ternyata bisa ubah kepribadian manusia juga. Aku beneran gak tahu, sebenarnya  jati diri itu apa, kehidupan yang harus dijalani itu seperti apa. Aku banyak komunikasikan  dan bahkan ambil keputusan dari hasil komunikasi ke orang orang di sekitarku. Tapi ternyata  chat itu gak setajam visualisasi. Kalau dulu di sekolah, seharian kita udah ketemu, malamnya  masih kirim pesan sekedar bahas lelucon. Tapi waktu kita sekolah dari rumah, gak ada lagi  lelucon di penghujung malam. Semua cuma kirim pesan selama ada kegiatan pula, kalau  sudah selesai ya sudah. Aku sering, sering kirim pesan yang sebenarnya bukan dalam intonasi  serius. Tapi tiba-tiba ada yang bilang kenapa aku serius banget tanggapi sesuatu. Terus, kalau  kita ucap sesuatu secara langsung, mimik muka kita bisa mendukung, sopan atau tidaknya  bisa langsung dirasakan. Tapi semua terbatas, aku jadi takut, aku tarik diriku daripada malah  buat kesalahan lebih baik aku tidak lakukan. Sampai aku si suka bicara lewat tatap visual itu  juga akhirnya terkurung.” 

Tanpa sadar aku sebut diri sendiri tanpa batas formal. 

“Pertama, terimakasih ya, terimakasih sudah mau cerita. Aku lihat kok, lihat  gamblang hari itu kamu menangis di cafe. Kedua, aku juga gak mengerti konsep jati diri yang  sebenarnya. Di usia yang ke-24 tahun aku sebenarnya juga masih cari tujuan hidup selain  punya tabungan sejahtera di hari tua dan banggakan orang yang sudah besarkan aku. Ketiga, 

soal kamu yang berubah, aku dengernya cuma kamu ambil negatifnya aja. Kita baru ketemu 3  kali, tapi aku bisa bicarakan sisi diri kamu selain negatif yang bayangi kamu itu.” 

Dia belum selesai beri feedback, tapi sampai disini seperti tadi yang sudah kubilang. Ada perasaan penuh hanya karena tutur katanya.  

“Kamu mungkin selalu anggap dirimu jadi pendiam, kaku, saklek, dan takut dunia.  Tapi tindakan kamu itu. Kamu beli kucingan buat kucing di belakang hotel, terus tadi waktu  cleaning service di lobi yang numpahin air, kamu tiba-tiba dateng buat bantu dia ambil ember  dan alat pelnya. Mungkin memang cara bertutur kata kamu berubah, tapi kamu malah  temukan nyaman kalau semuanya lebih baik langsung dengan tindakan. Secara gak sadar  pasti kamu udah nyaman. Sisanya, kesedihan kamu yang seperti ditinggalkan perjalanan  dunia itu karena prespektif kamu tentang dirimu itu belum dibawa positif. Kalau kamu mau  renungkan perkataanku, manusia itu jelas berbeda, segi sifatnya, segi pola pikirnya. Kamu  gak harus kembali jadi ceria, kamu bisa jadi anggun dengan semua tindakan kamu itu. Jadi  lepaskan ya, lepas semua bayang-bayang tentang kamu yang berubah jadi buruk, sama sekali,  nggak ada yang buruk dari itu. Terima diri kamu yang sekarang.” 

Agaknya sangsi kalau di usiaku yang tahun depan mau injak angka 24 itu aku ungkap tentang  cinta. Bahkan 7 tahun aku berkutat dengan masalahku kalau tiba-tiba aku sebut aku jatuh  cinta pasti aneh. Tapi, Danu Pradipta Wiharja, ini punya seribu jawaban yang mengena buat  seluruh pertanyaan yang selama ini tidak mampu aku selesaikan. Kosong, kosong yang  selama ini berputar-putar itu berhenti diganti hangat yang penuh. Pikiran yang selama ini berkelana temukan poros buat diam. Kalau sudah begini bisa apa aku selain bilang, aku  tenang.  

Dari semua yang disisakan oleh pandemi sebab wabah mematikan yang menular 7 tahun lalu.  Mulanya, aku temukan Christa sebagai sisa dari teman yang banyak. Kemudian diriku sendiri.  Tapi kehidupan manusia adalah bangun ruang untuk masa depan. Dari segala ruang kosong,  hari ini aku bisa dapatkan kalau aku bisa mulai bangun ruang juga untuk diriku, hidupku, dan  masa depanku. Dari segala yang disisakan tragedi pandemi, adalah sebuah ruang insan, cinta.  

“Velyn Averina Hardjanto.” 

“Hm?” 

“Namaku, panggil aja Velyn.”

Sejenak mata kami bertemu dalam seperti ketika aku tatap mata dia hari itu. Bedanya hari ini  aku tatap dia dengan lega bukan lagi penuh tanya.  

“Kalau aku mau kenal kamu lebih dekat dari sekedar owner cafe ke pelanggannya,  apa boleh?” 

“Boleh, Mas Danu, dipersilahkan kok.” 

“Terimakasih, Velyn.” 

“Kembali kasih, Mas.” 

“Besok pagi mau ke Art Gallery?” 

“Mau, ayo pergi, aku bakal susun ulang agenda perjalananku.” 

“Tapi kalau perjalanan batinnya, bisa berhenti dan disinggahkan?” 

“Aku masih ragu, banyak ragunya. Kadang aku ini ingin sendiri, kadang juga mau  ditemani. Sebelum Mas minta tentang persinggahan, bisakah lebih dulu terima aku dengan  segala raguku?” 

“Aku juga gak bisa janji dengan iya, karena aku cuma manusia sarang keluputan. Tapi  aku mau coba, mau coba jadi orang yang bisa disinggahi tanpa pergi.” 

Langit Jogja malam Rabu itu ditaburi bintang tanpa kelabu. Bersih seperti dua insan yang  tengah ulas senyum tulus dari hati paling dalam. 

End of Story 

With Love, 

Aera

Tentang Penulis 

Aerine Eunikeseorang amatir yang menuangkan imajinasinya dalam deret frasa.  Gadis asli Temanggung, Jawa Tengah tanpa heterogen luaran, lahir pada 21 Maret 2003. 19  tahun hidupnya, mencantumkan menulis dan memasak sebagai hobi tidak pernah luput dari  deretan biodata. Menulis itu seperti membawa pikiran baru karena masa saat menulis pasti  membutuhkan imajinasi. Nama pena Aera sudah kerap dibubuhkan pada akhir cerita pendek  yang dibuat, dimana hasilnya akan dibagikan melalui sosial media yang terhubung dengan  ruang publik. Meski tidak konsisten, tetapi menulis adalah zona nyaman bagi penulis.

Juara Ke 3 SELOPEN

Leave a comment

Back to Top