Merangkul Pandemi dalam Gawai
CERPEN, SASTRA, UKSW 3 September 2022 Tak ada komentar pada Merangkul Pandemi dalam GawaiKeheningan malam menjadi pertanda bahwa sang jiwa dan raga harus mengakhiri perjuangannya dalam satu hari. Namun ternyata, teori ini tidak berlaku bagi roda kehidupan Rara. Sebagai pengajar berdaya juang tinggi, dia selalu berperang dengan rasa kantuknya, demi menyiapkan bahan ajar yang menarik bagi siswa-siswinya. Herannya, dia tidak pernah terlambat ke sekolah meskipun dia hanya akan terlelap saat kentongan ronda malam digaungkan di depan rumahnya.
Kendati Rara bertempat tinggal di daerah akses transportasi lancar serta dikelilingi oleh rumah besar dan berpagar, namun sistem keamanan ronda malam masih diterapkan di sana. Tak jarang lokasi tersebut menjadi sasaran empuk bagi para pedagang keliling untuk mengais rezeki.
“Sayuuur-sayuuur…” Pedagang sayur berteriak dengan nada bergelombang dan volume maksimal, sehingga membuyarkan mimpi para tetangga yang masih bergelut bersama kasur dan selimut.
“Sudah pagi kah? Oh my God!” celetuk Rara sambil mengucek-ucek matanya.
Ya, ketika dunia membangunkannya dari tidur, sebenarnya pikiran Rara sudah tiba di sekolah, walaupun tubuhnya masih meronta-ronta menagih hak untuk kembali berselancar di tilam. Kelopak mata seolah menahan lembing berbobot 800 gram, memaksanya mengeluarkan segala jurus untuk memenangkan rasa kantuk, agar dapat menatap dunia yang penuh dengan panggung sandiwara.
“Huaaaahh…” Rara mengangakan mulut disusul dengan hembusan napas panjang. Perlahan tapi pasti, Rara mengayunkan langkah kaki meninggalkan pembaringannya menuju bilik air. Setelah selesai dengan urusan pribadi, dia segera mempersiapkan diri untuk pergi ke kantor. Seperti biasa, dia duduk di kursi terasnya sambil menunggu ojek online melalui aplikasi yang tersedia dalam smartphone miliknya.
Desas-desus kerumunan gerobak pedagang sayur menghinggapi indera pendengaran Rara. Entah mengapa gerobak tersebut selalu nangkring dekat rumahnya, padahal dia tidak pernah memborong sayur di sana, mengingat situasi pandemi masih memprihatinkan.
“Waduh, orang muda zaman sekarang itu, kayak ratu lo!” sindir seorang ibu berdaster sembari melirik Rara dengan tatapan sinis. Namun Rara tetap terlihat elegan tanpa menggubris celotehannya.
“Iya Bu, diantar dan dijemput harus depan pintu rumah, mana akan mau jalan sampai simpang untuk naik angkot. Bisa lecet nanti kakinya!” timpal ibu sebelahnya sambil menaikkan satu alis.
“Makanya generasi kita itu usia nya panjang Bu, soalnya kita kan sudah biasa olahraga setiap hari dengan berjalan kaki, beda banget dengan anak zaman sekarang. Agak gimana gitu!” Ibu yang lain melotot ke arah Rara sembari memperbaiki maskernya yang sudah melorot.
“Apaan sih?” gumam Rara karena merasa tersindir. Ungkapan yang dilontarkan ternyata menggemparkan hati dan membakar telinga Rara, namun dia mencoba tetap tenang seolah olah tidak terjadi apa-apa.
“Tiiin-tiiinnn….” Tiba-tiba suara klakson motor ojek online membungkam perbincangan para pemburu sayur yang sedari tadi menggunjing Rara. Seketika suasana laksana kota mati tak berpenghuni . Suara bisikan yang tadinya menggerogoti jiwa Rara kini telah hilang tanpa jejak.
Rara mengangkat bahu sembari menaikkan kedua alisnya dan meninggalkan kerumunan gerobak sayur. “Kenapa sudah tidak berkoar-koar?” ucapnya dalam batin.
“Jalan Pak!” pinta Rara kepada tukang ojek online dengan tegas.
“Siap Bu!” Tukang ojek online membelokkan motornya mengikuti rute google maps.
Celotehan para tetangga masih terngiang-ngiang di telinga Rara. Dia merenung. Dia tidak habis pikir dengan cara pandang yang telah mengakar dalam diri tetangganya. Gagap teknologi membuatnya salah dimengerti. Entahlah, ruwetnya simpul masalah kehidupan beradu dengan kegagalan menunggangi kecanggihan.
“Mau sampai kapan kita tertinggal?” ucap Rara spontan agak kesal.
“Apa Mbak? Ada yang tertinggal?” tanya tukang ojek online penasaran. “Aduh, keceplosan lagi!” gumam Rara sambil menutup mulutnya.
“Enggak kok Pak, aman!” Rara mengkonfirmasi pertanyaan tukang ojek online. ***
Semenjak pandemi, kegaduhan klakson dan amukan pengendara yang bersaing menguasai jalan, sudah agak jarang melintas dalam gendang telinga Rara. Hal ini disebabkan karena banyak perusahaan menerapkan sistem WFH (Work From Home) bagi pekerjanya untuk
mencegah persebaran makhluk jahil si virus Corona. Tentu saja kebijakan ini menguntungkan Rara. Dia dapat menikmati perjalanannya tanpa gangguan polusi suara.
“Terima kasih Pak.”
Rara bergegas turun dari motor disambut oleh lambaian tanaman kebun yang berjejer di sepanjang gapura. Hembusan angin menyelinap pada lapisan kulit dan mengibaskan setiap helai rambutnya. Gerakan kakinya tertuju pada ruang guru. Dia merogoh-rogoh tas untuk mengambil kunci.
“Wah, pagi sekali Ra, datangnya!” Suara yang tidak asing lagi itu mengusik konsentrasi Rara. Dia berpaling. “Eh Andi, selamat pagi,” sapa Rara dengan senyum termanis membentuk bulan sabit pada bibirnya, sehingga masker naik mengikuti gerakkan wajahnya.
“Selamat pagi juga, Ra,” jawab Andi dengan penuh semangat sambil mengacungkan jempolnya.
Rara menatap sosok berkemeja batik itu begitu mendalam. Sorot matanya mengarah dari atas ke bawah. Seketika jantungnya seolah berhenti berdenyut. Tubuh terpaku dan keringat mulai bercucuran. Perasaan morat-marit menghampiri relung batinnya. Entah mengapa, jika di hadapan Andi, Rara kehilangan jati diri.
Andi mengerutkan kelopak mata. “Kamu sakit Ra?”
“Hmmm, enggak kok Ndi, tadi buru-buru aja, jadinya keringatan deh,” ucap Rara menahan rasa canggung. “Oke. Oh iya kunci ruangannya bawa kan? Bisa tolong dibuka pintunya gak?”
Jemari Rara kembali mengobrak-abrik isi tasnya. Tangan mulai terasa dingin dan gemetar. Kalimat Andi membuat raganya semakin tidak karuan. “Aduh, di mana ya? Kok gak ketemu?” “Pelan-pelan saja, Ra,” kata Andi mencoba menenangkan Rara.
“Traaaannngg…” Kunci terjatuh tepat di hadapan sepatu Andi.
Mata Rara terbelalak. Peristiwa itu berhasil memeranjatkan Rara dan membuatnya pusing tujuh keliling. Andi memandang Rara. Rara menyurukkan kepalanya “Sial, mengapa jadi seperti ini?” gerutu Rara dalam batinnya.
Andi membungkukkan badannya dan berusaha menjangkau kunci tersebut. Tersadar akan hal itu, Rara melayangkan tangannya dan mencoba merebut kunci itu dari tangan Andi.
“Blukkkk..” Kepala Rara dan Andi saling berantuk.
“Maaf Andi, a.. aku gak sengaja,” ucap Rara terbata-bata sambil menutup matanya. Andi hanya tertawa kecil melihat tingkah Rara. Dengan penuh kewibawaan Andi berjalan ke arah pintu.
“Ayo masuk Ra!” ajak Andi sambil menyibakkan pintu. Rara menggangguk dan bergegas ke meja kantornya. Dia tersipu malu.
***
“Huft..” Rara menghela napas panjang sambil meletakkan tasnya di samping kaki kursi. Peristiwa pagi ini benar-benar menguji kesabaran Rara. “All is well,” ucap Rara dengan nada lirih seraya mengecek laptopnya. Mantra yang dilisankan Rara itu mulai dihafalkannya sejak menonton film 3 Idiot. Baginya, film itu sungguh menginspirasi.
“Shopeee..” Rara memalingkan pandangan ke arah smartphone. Dia teringat pesanannya beberapa hari yang lalu. Kedua jempolnya langsung beraksi melacak lokasi paket. “Paket sedang dibawa kurir menuju lokasimu”. Rara melafalkan notifikasi dengan cermat.
“Tok-tok-tok…” Seorang guru paruh baya mengetok pintu Rara.
“Selamat pagi Bu, apakah tinta, kertas dan laser pointer sudah ada?” tanya guru itu.
“Sudah saya pesan Bu, tapi barangnya masih di jalan. Mungkin sekitar jam 9 kurir datang,” ucap Rara penuh iman.
“Oke saya tunggu ya, saya harap tepat waktu, karena kita akan rapat jam 10.” “Baik Bu,” jawab Rara seraya menganggukkan kepala.
Rapat kali ini hanya akan dihadiri oleh sepuluh orang guru. Situasi pandemi memaksa guru hadir ke sekolah secara bergantian sesuai jadwal. Sambil menunggu jam rapat serta kurir datang, Rara mengunggah media pembelajaran dalam digital platform sehingga peserta didik dapat mengaksesnya.
Rara menulis pengumuman di grup whatshapp. “Selamat pagi anak-anakku yang terkasih, hari ini kita belajar mandiri. Materi dapat diakses di classroom. Besok kita akan bertemu di zoom meeting. Link menyusul. Terima kasih.”
“Baik Ibu, terima kasih informasinya,” balas beberapa murid.
Rara kembali melanjutkan tugasnya. Sesekali dia mengecek smartphone. “Kok paketnya belum datang, ya? Sudah jam 9,” ucap Rara agak cemas. Rara mengintip ke arah jendela, tetapi belum ada tanda-tanda. Dia beranjak ke pintu.
“Bagaimana Bu, apakah paketnya sudah datang?” tanya guru paruh baya itu sembari menghampiri Rara dan memastikan bahwa semua baik-baik saja.
“Maaf Bu, ini saya juga masih menunggu,” jawab Rara sedikit ragu.
“Waduh gimana ini Bu? Kita butuh laser pointer.”
“Iya Bu, mungkin sebentar lagi datang,” jawab Rara mencoba meyakinkannya.
“Kenapa harus beli online sih Ra?” tanya Dinda yang sedari tadi mengamati gerak-gerik Rara sembari mendekatinya. “Kan bisa beli di toko, sehingga kita gak perlu repot menunggu seperti ini,” sambung Dinda dengan nada geram.
Dinda adalah rekan kerja Rara. Namun Dinda tidak begitu suka dengan Rara. Apapun yang dilakukan Rara selalu memicu pertikaian. “Biasanya tepat waktu kok, Din. Kita tunggu saja, ya,” jawab Rara mencoba menenangkan situasi.
“Lah? Buktinya mana? Ini sudah jam berapa? Kita mau rapat.” Dinda menyilangkan tangan di dada. Guru paruh baya itu meninggalkan Rara dan Dinda. Rara terdiam. “Kok diam Ra? Ga bisa jawab?” tanya Dinda penuh keangkuhan. “Aku heran sama kamu, kerja gak becus kayak gini kok bisa ya, jadi bendahara?” Kalimat Dinda menusuk kalbu. Rara menunduk.
Ingin rasanya Rara melontarkan serangan balik kepada Dinda. Hati kecil Rara berbisik. “Jangan Ra, sabar!”. Dia mengurungkan niatnya.
“Ibu Rara dan Ibu Dinda, ayo masuk, rapat akan segera dimulai!” ajak guru paruh baya yang mengetahui keberadaan mereka. “Baik Bu.” Dinda tersenyum tipis sambil meninggalkan Rara.
“Aduh, bagaimana ini?”. Ketakutan mulai menghantui Rara. Sejenak dia merenung.
“All is well,” ucap Rara mendinginkan dirinya. Rara berjalan menuju ruang rapat, sembari melirik ke kiri dan kanan. Rara mempercepat gerakannya. “Sudah tidak ada orang,” gumamnya.
“Tok-tok-tok…” Rara mengetuk pintu seraya masuk memperlihatkan wajahnya.
Semua beralih melirik ke pintu. Tatapan garang seakan menyelimuti ruangan. Entah apa yang ada di pikiran mereka saat itu. Wajah Rara tampak pucat. Raganya seperti kehilangan nyawa.
“Gimana Ibu Rara, apakah laser pointer sudah ada?” tanya guru paruh baya itu pada Rara. Pertanyaan itu seakan mencekam. Rara menggelengkan kepalanya. “Belum Bu, sampai detik ini kurir belum datang.” Rara merundukkan kepala dan merasa bersalah.
“Kamu gimana sih, Ra? Tidak bertanggung jawab!” celetuk Dinda memanaskan keadaan. “Maaf Din, ini semua memang salah saya,” kata Rara penuh penyesalan. “Kamu pikir dengan kamu minta maaf, masalah selesai?” Semua membungkam dan saling memandang.
“Sepertinya perang akan segera dimulai. Siapkan ambulance!” bisik seorang guru pada rekan kerja di sebelahnya. “Hush… Ngawur!” rekannya menegur.
“Kalau begitu, kita rapat tanpa laser pointer saja, supaya tidak menunggu waktu terlalu lama,” usul guru paruh baya berusaha mencairkan suasana.
“Saya gak bisa persentasi jika tidak ada laser pointer,” protes Dinda sambil merajuk. Suasana semakin tegang. Seisi ruangan menjadi gelisah. Rara menatap Dinda penuh kekecewaan. “Tega banget sih kamu, Din!” kata Rara dalam kalbu berusaha membendung air mata.
“Din, kamu gak boleh egios, dong!” Andi mulai bersuara.
“Maksud kamu apa Ndi? Kok kamu malah nyalahin aku?” tanya Dinda dengan nada menantang.
“Bukannya begitu Din, realistis aja, kita mau rapat, bukan berdebat!”
“Terus aja belain Rara, sampai dia ngelunjak!” Dinda berusaha membenarkan diri.
“Kamu gak ngerti perasaan aku Ndi, coba kamu yang ada di posisi aku sekarang? Gimana?” sambung Dinda.
“Begini saja Din, saya bantu kamu mengoperasikan laptop, ya, supaya kamu fokus persentasi,” kata Rara menawarkan bantuan pada Dinda.
“Jangan sombong kamu, Ra! Punya ilmu sedikit aja, tapi gaya sudah selangit!” balas Dinda penuh prasangka.
“Astaga Dinda, saya cuma mau bantuin kamu, kok!” Rara mulai terpancing umpan Dinda.
“Bantuin apa? Kamu itu cuma cari kesempatan dalam kesempitan, supaya terlihat sebagai pahlawan!” sungut Dinda.
“Cukup Din!” hardik Rara kehilangan kesabarannya. Suara Rara menggema mengisi ruangan. Serangan Dinda akhirnya ditampik Rara juga. Dinda menatap Rara penuh murka. Wajah Rara memerah. Bibirnya sedikit bergetar. Kelopak matanya berusaha menyangga air mata.
“Sudah-sudah. Rapat akan tetap kita mulai. Saya harap semua dapat memaklumi peristiwa ini,” ucap guru paruh baya yang merupakan kepala sekolah. Suasana rapat tidak seperti biasa. Seisi ruangan menekuk wajah. Dari kejauhan Andi menilik Rara dengan rasa iba. Tetapi apalah daya, Andi tidak mungkin membela Rara. Dia juga tidak mungkin membenarkan Rara. Situasi ini membuatnya dilema.
Selama rapat, semua memusatkan perhatian pada presentator. Rara berusaha bersikap profesional. Dia berusaha melupakan masalah itu, tetapi pikirannya masih tertuju pada kurir yang merupakan akar dari perdebatan ini.
Selang beberapa waktu, guru paruh baya itu berkata, “Terima kasih atas partisipasi para guru hari ini, semoga rencana kita dapat direalisasikan dengan baik.”
Pernyataan itu membuat Rara merasa sedikit lega. Semua bertepuk tangan sebagai pertanda bahwa rapat telah selesai. Satu per satu mulai meninggalkan ruangan, tetapi Rara masih duduk di sana.
“Ibu Rara tidak apa-apa?” tanya kepala sekolah memastikan keadaan Rara. “Saya tidak apa-apa Bu, maaf, hari ini saya sudah membuat kericuhan,” ucap Rara.
“Tidak apa-apa Bu, keterlambatan kurir itu diluar kendali kita. Ibu Rara telah melaksanakan kewajiban dengan baik. Saya mengapresiasi itu.”
“Terima kasih, Bu,” jawab Rara penuh haru.
“Semangat, ya,” balasnya sambil meninggalkan ruangan.
Menjadi guru SD sekaligus bendahara sekolah, sebenarnya tidak begitu sulit bagi Rara. Multitasking sudah mendarah daging dalam dirinya. Mengotak-atik teknologi digital merupakan salah satu kegemarannya. Hanya saja, apa yang terkadang direncanakan tidak sejalan dengan kenyataan. Peristiwa ini sungguh mendewasakan pola pikir Rara.
“Ra, masih di sini?” tanya Andi sambil membawa paket yang ditunggu sejak pagi. “Ini mau pulang kok, Ndi,” jawabnya.
“Ini paketnya sudah datang, tadi kurirnya mencari kamu, tapi saya pikir sebaiknya saya wakilkan saja. Kebetulan kamu juga tadi tidak ada di sana,” jelas Andi penuh antusias.
Rara terdiam. Dia mulai terkesima. Emosinya bergejolak. Rara mengekspresikan kesedihannya di hadapan Andi. Dihempaskan masker yang membalut raut wajahnya. Air mata tidak dapat
tertahan lagi. Hati Rara diremukkan oleh keadaan yang telah terjadi. Jiwa tangguh akhirnya meleleh juga.
Andi menepuk bahu Rara. “Saya bangga dengan kamu, Ra,” puji Andi. “Kamu berbeda dari yang lain,” sambungnya. Rara menyeka air mata yang membanjiri pipinya. Dia menyibakkan rambut yang menutupi daun telinganya. Rangkaian kata Andi menyalakan sumbu semangat Rara. Rara menarik napas dan menghempaskan.
Andi menarik kursi dan duduk di sebelah Rara. Digenggamnya tangan Rara yang mengatup di meja. Mereka beradu pandang. Andi memikat hati Rara. “Ini gak mimpi, kan?” tanya Rara dalam jiwa. Perasaan girang membawanya terbang menembus awan. “Tuhan, ini lebih dari cukup!” gumam Rara pada kalbu.
“Semangat ya, Ra!” bisik Andi dengan lembut. Wajah Rara berseri. Tidak ada kata yang mampu keluar dari mulutnya. Hanya memandang. Dia terpukau. Rara berharap agar hal ini jangan segera berakhir. Kehadiran Andi mengobati luka Rara. Energi baru merasuk menyelimuti raga. Rara disegarkan kembali melalui napas kasih yang salurkan oleh orang
orang yang mengasihinya.
“Kamu pulang dengan siapa, Ra?” tanya Andi menyuraikan lamunan Rara. “Saya pulang sendiri,” jawab Rara dengan lirih.
“Saya antar, ya?” tawar Andi.
“Boleh, terima kasih ya,” jawab Rara sambil tersenyum.
“Oh iya, ini paketnya letak di mana? Mau dibawa pulang?” tanya Andi lagi. “Enggak usah Ndi, paketnya di sini aja, takutnya besok malah ketinggalan,” usul Rara. “Oke,” kata Andi seraya mengangguk.
Andi dan Rara berjalan menuju parkiran. Hanya tinggal satu kendaraan beroda empat yang mangkal di sana. Andi mengambil remote sekaligus kunci dalam koceknya. Dari kejauhan terdengar suara alarm dengan durasi yang sangat cepat, pertanda mobil siap dikemudikan.
“Maaf ya Andi, saya jadi merepotkan kamu,” kata Rara sambil bergegas mengikuti langkah Andi.
“Santai saja, Ra!” kata Andi sambil membuka pintu mobil.
“Ayo masuk, Ra!” sambung Andi lagi mempersilahkan Rara.
Dengan gagahnya, Andi mulai membanting setir. Rara melayangkan sabuk pengaman dan menguncinya di sebelah kanan. Petualangan setengah hari ini merongrong sukma Rara. Dinamika kehidupan tidak mudah ditebak. Gelora rasa membaur menjadi satu membentuk pelangi cinta.
“Rumah kamu di mana, Ra? Maaf, saya lupa,” tanya Andi seraya memperlambat kecepatannya.
“Di perempatan itu belok kiri, nanti ada ruko besar, terus belok kiri lagi. Rumah saya berwarna putih, Ndi,” jelas Rara sembari menunjuk jalan.
“Oh iya ya, maklumlah Ra, semenjak pademi saya sudah jarang main ke tempat kamu,” kata Andi sambil melirik Rara.
“Kapan-kapan main lagi lah Ndi, ajak rekan guru lainnya. Kita bakar jagung di sana. Pasti seru deh!” ucap Rara penuh harapan.
“Wah, ide yang bagus itu! Tapi tunggu situasi sudah membaik ya, Ra!” jawab Andi sambil memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah Rara.
“Oke bos, siap,” canda Rara mengacungkan jempolnya seraya menarik sabuk pengaman. “Terima kasih ya, Andi,” Rara melambaikan tangan dan menutup pintu mobil. “Oke Ra, see you,” balas Andi mengakhiri pembicaraan.
***
“Terima kasih, Tuhan”
Rara menghela nafas panjang. Di tengah peliknya rotasi pergumulan hidup, Rara tidak pernah luput mengucap syukur. Tidak selamanya badai. Tidak selamanya hujan. Dan tidak selamanya gerimis. Setelahnya, pasti akan selalu ada pelangi. Selalu ada secercah cahaya untuk menerangi gelap. Begitupun harapan. Selalu ada jalan bagi mereka yang mengandalkan Tuhan.
“Kok lapar ya?” Rara mengelus perutnya.
“Pesan di gofood aja, deh!” ucap Rara seraya menarik smartphone dari tasnya.
Rara memeriksa beberapa notifikasi di smartphone miliknya. “Hah? Dinda nelpon?” gumam Rara, agak kaget. “Apa ditelpon balik aja, ya? Mungkin ada yang penting?” pikir Rara sembari menelpon Dinda.
“Tuuuuuuutttttt” Dinda menempelkan smartphone di telinganya.
Tidak lama kemudian, terdengar suara Dinda.
“Halo, Ra,” ucap Dinda agak memelas.
“Halo Din, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Rara sedikit khawatir.
“Saya baik-baik saja, Ra,” jawabnya dengan suara agak serak.
“Kamu nangis?” tanya Rara mulai curiga.
“Mama saya sakit, Ra. Sekarang dirawat di rumah sakit. Saya bingung banget, saya belum punya uang untuk bayar pengobatan mama” jelas Dinda agak sedikit panik.
“Biayanya berapa, Din?” tanya Rara penasaran.
“Sekitar dua juta, Ra.” Dinda memberi tahu.
“Ya sudah, nanti saya transfer via m-banking. Kamu pakai uang saya dulu aja, kebetulan saat ini saya belum butuh kok!” ucap Rara.
Dinda diam sebentar, tiba-tiba menangis.
“Kamu baik banget sih, Ra? Saya malu dengan kamu.” ujar Dinda.
“Santai saja Din, itu sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong”
“Tapi saya sudah jahat dengan kamu, Ra!” Dinda tersedu-sedu sembari mengingat peristiwa di sekolah tadi.
“Saya percaya kok, bahwa di lubuk hatimu yang terdalam masih ada sinar kebaikan.” jawab Rara penuh kesabaran.
“Saya minta maaf, Ra.”
“Iya Din, saya sudah memaafkan kamu. Semangat ya!” kata Rara berusaha menguatkan Dinda. “Terima kasih, Ra.” Dinda terharu.
“Sama-sama, Din,” jawab Rara mengakhiri percakapan.
Rara termangu. Peristiwa hari ini terekam jelas dalam benak Rara. Matanya berkaca-kaca. Tidak menyangka, ternyata dia bisa setegar ini. Rasa laparnya seketika hilang. Dia
mengurungkan niatnya membeli makanan. Dia bergegas masuk kamar. Dilihatnya tumpukan laporan yang harus segera direvisi. Malam ini dia akan bertempur lagi.
Rara memakan beberapa potong roti yang tersedia diatas meja kerjanya untuk mengganjal perutnya. Dia memposisikan diri senyaman mungkin di hadapan laptopnya. Dengan lincah, jemarinya menari-nari di atas papan ketik.
Tidak terasa, ternyata langit sudah gelap. Rara beranjak. Dinyalakannya lampu teras dan lampu kamar. Ditutupnya kaca jendela dengan menarik gorden. Detakan jam dinding membuatnya berpaling. Dilihatnya jarum pendek menunjuk angka delapan, dan jarum panjang menunjuk angka dua belas.
“Masih ada empat jam lagi,” pikirnya sambil bergegas kembali ke meja kerjanya. Saat hendak duduk, didengarnya suara ketukan pintu. “Siapa malam-malam begini bertamu?” gumam Rara sambil berpikir keras.
“Permisi Mbak Rara..”
Suara itu mengundang Rara untuk segara membukakan pintu. Tanpa pikir panjang, ditariknya tuas gagang pintu. Rara terkejut. Dipandangnya wanita yang berdiri hadapannya dengan penuh pertanyaan. “Bukankah ibu ini ada di kerumuman gerobak sayur tadi?” Rara membatin.
“Maaf Mbak Rara, saya mengganggu waktu istirahatnya.” ucap tamu yang tidak diundang itu. “Oh iya, gak apa-apa Bu, bagaimana ada yang bisa saya bantu?” tanya Rara penuh perhatian.
“Begini Mbak, tetangga kita ada yang akan melahirkan, tapi jam segini angkot sudah tidak ada. Saya lihat, Mbak Rara sering pesan kendaraan. Apakah bisa minta tolong dipesankan dengan tujuan rumah sakit, Mbak?” pinta ibu tersebut seraya memohon pada Rara.
“Sebentar ya, Bu!” Rara berlari dan mengambil smartphone. Dibukanya aplikasi gocar. Segera dituliskannya alamat lokasi tujuan dan titik jemput.
“Sudah Bu, saya sudah pesan satu mobil, sebentar lagi akan ke sini kok!” kata Rara sambil mengecek titik keberadaan mobil tersebut.
“Terima kasih banyak ya, Mbak. Maaf sudah merepotkan Mbak” ucap ibu tersebut dengan tatapan berbinar-binar.
“Ditunggu saja ya, Bu. Saya juga sudah bayar, jadi nanti tinggal naik saja!” ucap Rara.
“Waduh Mbak, terima kasih banyak ya, semoga Tuhan memberkatimu dan keluargamu.” kata ibu tersebut seraya mendoakan Rara.
“Amin.. ” Rara tersenyum.
“Bu, itu mobilnya sudah datang!” kata Rara sambil menunjuk mobil berwarna putih. “Kalau begitu saya arahkan ke tempat saya, ya, Mbak!” usul ibu tersebut. “Oke, Bu” jawab Rara.
“Kalau Mbak, mau melanjutkan aktivitas, silahkan Mbak! Ini biar saya yang ngurus, yang penting mobilnya sudah datang!” ucap ibu tersebut.
“Baik Bu, kalau ada apa-apa, beri tahu saya, ya!”
“Baik Mbak, terima kasih.” kata ibu tersebut seraya meninggalkan Rara.
Rara merasa bahwa hari yang dianggapnya berantakan, justru menjadi hari yang penuh berkat bagi orang-orang di sekitarnya. Hal ini menyadarkan Rara bahwa gawai yang digenggamnya dapat merangkul situasi pandemi. Pandemi tidak dapat dielakkan, tetapi manusia dapat menyesuaikan.
*Selesai*
Tentang Penulis:
Esra Elisabeth. Perempuan asli Riau ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Kegemaran menulis mendorongnya bergabung dalam kelompok bakat minat jurnalistik. Ia merupakan ketua angkatan khusus program studi PGSD tahun 2021. Selain menulis, dia juga menyukai dunia videografi. Hobinya selalu disinkronkan dengan jurusan yang digelutinya saat ini. Pembaca bisa saling berbagi cerita dengan penulis melalui akun media instagramnya @esra_gisela.
Juara favorit 1 SELOPEN
Leave a comment