AIESEC UKSW 2017: Gelar Student Exchange dan Social Project di Aras Internasional

AIESEC UKSW 2017: Gelar Student Exchange dan Social Project di Aras Internasional

KAMPUS Tak ada komentar pada AIESEC UKSW 2017: Gelar Student Exchange dan Social Project di Aras Internasional

Giovania Kartika jadi volunteer pertama di FEB UKSW yang mengikuti program AIESEC UKSW pada tahun angkatan 2016 (sebelumnya AIESEC UKSW berada di bawah naungan UNDIP. Lalu, pada tahun 2013 sempat diberhentikan. AIESEC UKSW mulai dibangun pada 2015 dan disahkan oleh AIESEC Indonesia pada April 2016 ─red). Mahasiswi yang akrab disapa Cik Nia ini, mengambil konsentrasi proyek sosial, yaitu teaching di Vietnam. “Soalnya mau nambah pengalaman. Seandainya aku sudah lepas dari UKSW, kapan lagi aku bisa dapat pengalaman kayak gitu?” tukas Cik Nia yang sekarang jadi dosen di FEB UKSW.

 

Apa itu AIESEC?

Berdasarkan penelusuran Ascarya, AIESEC (Association for the International Exchange of Students in Economics and Commerce) adalah organisasi internasional yang mempersiapkan pemuda untuk mengembangkan potensi kepemimpinan melalui program students exchange yang diwujudkan dalam proyek sosial di negara berkembang. AIESEC adalah non-politik, mandiri, dan non-profit yang dijalankan oleh mahasiswa dan lulusan baru dari lembaga pendidikan tinggi. AIESEC didirikan pada tahun 1948.

AIESEC punya tiga program menarik, yaitu Global Volunteer, Global Talent, dan Global Leader. Intinya, Global Volunteer ini melakukan proyek sosial di negara berkembang seperti yang dilakukan oleh Cik Nia. Global Talent adalah program magang kerja di luar negeri. Lalu, Global Leader adalah organisasi penyeleksi kandidat program AIESEC dan pengurus organisasi tersebut, seperti AIESEC yang berdiri di UKSW saat ini. AIESEC UKSW masih terbilang muda karena mulai disahkan oleh AIESEC Indonesia sejak April 2016 saat konferensi di Semarang. Dari ketiga program, UKSW masih menyelenggarakan Global Volunteer dan Global Leader, sedangkan Global Talent belum dijalankan karena masih dalam tahap pematangan program.

 

Sistem Administrasi Keuangan dan Seleksi Global Volunteer 2017 Diperbarui

Sistem telah diatur ulang supaya lebih praktis dengan menggunakan sistem online secara menyeluruh. Secara singkat, tahapan seleksi Global Volunteer meliputi pengisian form data diri, pengiriman motivation letter, dan CV dalam bahasa Inggris di situs resmi AIESEC. Setelah berkas diperiksa dan diumumkan lolos berkas, maka kandidat masuk ke tahap interview. Lalu, setelah lolos interview, maka kandidat dapat membayar biaya administrasi program sebesar tiga juta rupiah.

“Sistem diganti. Jadi, bener-bener costumer yang mau join AIESEC, mereka ngga lagi beli form, keluarin uang buat beli form, ngga perlu nulis-nulis lagi, tapi mereka langsung ndaftar ke web AIESEC itu sendiri. Mereka bisa wawancara project itu sendiri. Setelah mereka dapat (proyek sosial ─red), mereka bisa bayar (biaya administrasi ─red). Mereka ngga perlu susah untuk cari orangnya (pewawancara ─red),” jelas Gregorius Verdinand Restu Pratama, selaku Vice President of Marketing di AIESEC UKSW. Restu mengatakan bahwa AIESEC Indonesia memutuskan perubahan sistem online ini pada Desember 2016.

“Awalnya 1,5 juta (ketika masih memakai sistem lama, pembayaran biaya administrasi program sebesar 1,5 juta dilakukan pada awal pembelian form kertas, lalu setelah dapat proyek sosial, kandidat membayar 1,5 juta ─red). Tapi, sekarang sudah diganti. Kalau kamu sudah bener-bener dapat project kamu dan sudah tinggal berangkat saja, nah kamu tinggal selesaikan tiga juta itu. Nah, tiga juta itu buat apa aja? Tiga juta itu untuk bantuin kamu untuk persiapan buat berangkat, dan itu ada namanya Outgoing Preparation Seminar (OPS). Jadi, sebelum berangkat ke sana, kamu bakal dikasih namanya seminar, kita udah ngadain dua kali di Salatiga. Kamu akan diberi materi tentang culture shock, kamu bakal ngadain acara apa aja, kalau misalnya kamu ikut program teaching kamu ya bakal diberi gambaran gimana ngajarnya dari pengalaman yang kemarin-kemarin, tips and trick kayak gitu, persiapan kamu apa saja, gimana ngurus visa, bantuin kamu buat visa juga, bikin paspor kayak gitu. Lha, uang tiga juta sebenarnya bukan untuk profit kita karena AIESEC adalah program non-profit. Selain biaya untuk persiapan keberangkatan, juga untuk mendanai proyek sosialmu di luar negeri,” tukas Restu.

 

Pemilihan Proyek Sosial via Online

Restu mengatakan bahwa AIESEC menyediakan banyak pilihan proyek sosial dan variasi negara tujuan. Kandidat AIESEC dapat memilah-milah sendiri sesuai bakat dan minatnya. Proyek yang dipilih tidak harus berhubungan dengan studi atau jurusan kuliah yang kita ambil. “Nanti ada banyak pilihan dan ada deskripsinya proyeknya ngapain aja, di sana dapat rumah atau ndaa, disediain makan berapa kali sehari. Dari situ mahasiswa dapat milih mana yang cocok sama interest mereka. Mana yang cocok sama budget mereka? Dari situ mereka baru mulai interview. Kita guide buat mana sih yang lebih cocok sama kamu, rekomended atau ndaa,” ujar Restu.

Berdasarkan pengalaman Cik Nia, sebelum memulai mendaftar, ia berkonsultasi dulu dengan kaprodinya. “Kalau saya pilih di Eropa itu mahal, sebenarnya pengen, misalnya ke Ceko, tapi kayaknya susah. Akhirnya, pilih Asia, aku jatuh ke Vietnam. Waktu itu aku sempat konsultasi sama Kaprodiku S2, Pak Marwata, dan aku tanya sama dia, menurut Pak Mar, negara apa ya, yang kira-kira aman karena kan waktu itu kayak mau ke Filipina, cuma ada kayak narkoba-narkoba gitu kan, ya jadi udah deh yang aman aja, yang kayaknya negaranya stabil, akhirnya pilih ke Vietnam gitu,” ujar Cik Nia.

Cik Nia mengungkapkan bahwa dirinya sangat tertarik mengambil proyek teaching. Ia merasa bahwa kebiasaan yang dilakukan sehari-hari saat itu ialah mengajar. Selain itu, apabila ia mengambil proyek marketing atau enterpreneur, tidaklah memungkinkan karena terbentur negara penyedianya. Menurut Cik Nia, negara yang cenderung menyediakan marketing atau enterpreneur ialah negara Eropa atau negara konflik. “Teachingnya kan juga bahasa Inggris, sementara aku ngga pernah ngajari orang pakai bahasa Inggris gitu. Akhirnya, itu yang paling bisa aku pelajari dan bisa kuterapin di sana,” tukas Cik Nia dengan senyum sumringah.

 

Tahap Seleksi Interview

Wawancara dilakukan dalam bahasa Inggris. Dalam pengisian data diri, kandidat diberi kesempatan untuk memilih social project (Teaching, Marketing, IT, atau Bussines Administration) yang diminati dan negara tujuan dan boleh memilih lebih dari satu field. Setelah lolos seleksi interview, maka pihak penyelenggara akan membina kandidat dalam persiapan sebelum keberangkatan ke luar negeri.

Restu mengatakan bahwa para kandidat nanti tidak perlu khawatir saat melakukan pendaftaran, seleksi, maupun persiapan keberangkatan karena dari pihak AIESEC sendiri dengan sepenuh hati akan membimbing mereka. “Jadi, sebelum interview kita punya acara yang namanya induction yang akan membahas tips and trick itu sendiri. Lalu, mengenalkan AIESEC  lebih dalam lagi. Jadi, ketika mereka berangkat untuk interview mereka jangan sampai ngga tau apa-apa, apalagi di interview sama orang luar,” kata Restu.

Proses interview dilakukan dua kali. “Pertama, setelah berkas lolos, aku di interview sama UKSW, namanya Danu FTI Pariwisata yang sudah ikut exchange 2015, dan dia jadi pengurus toh, aku diinterview pakai bahasa Inggris. Jadi, dia kayak ada poin-poin pertanyaan, kalau aku ngga salah pun, sepertinya poin-poin pertanyaan itu didapat dari AIESEC Indonesia, poin-poin pertanyaannya ngga asal gitu, pertanyaan itu dapat dari pusatnya. Di situ aku dikabari lolos tahap itu, habis itu aku dikasih portal atau akses untuk masuk ke web AIESEC yang global dunia. Terus habis itu kita bikin username sama password, lalu aku pilih project. Kalau aku lolos berkas, tahap ketiga aku interview sama yang punya project (pewawancara asing ─red), biasanya lewat skypee atau video call di Line, “ imbuh mahasiswi yang pernah meraih Beswan Djarum itu.

“Dari empat project, aku lolos tiga, aku diinterview ketiga-tiganya nih lewat skypee. Ketiga-tiganya kalau aku bandingin, pertanyaannya kayak, kenapa kamu pilih project ini, kegiatanmu ngapain aja di kampus, dan yang penting lagi apa yang mau kamu bawa pulang, pulang kamu ya udah, atau ngapain, mungkin mereka ingin kegiatan mereka memberikan dampak buat kita, jadi waktu kita pulang itu ada sesuatu yang bisa kita bawa atau kita bikin gitu,” tambah mahasiswi yang diwisuda S2 pada Oktober 2016 silam.

Restu pun mengungkapkan bahwa sebagian besar mahasiswa mengambil waktu untuk keberangkatan di luar negeri, saat libur kuliah. Lantaran mengambil porsi libur kuliah, maka sekitar dua hingga tiga minggu, mahasiswa harus izin untuk tidak hadir dalam kelas kuliah. “Global volunteer bisa milih, tapi tergantung univ, kalau sejak pergantian ke tiga semester, mereka lebih ramai di winter ini. Biasanya ada winter, summer, fall. Mereka lebih cenderung ambil waktu berangkat di winter. Jadi, karena libur kita yang di winter, Desember sampai Januari awal ini. Jadi, mereka lebih leluasa ketika potong libur. Kalau dari universitas yang lain sih, ada yang beda, misalnya UNDIP tuh lebih panjang summernya, jadi mereka lebih ngumpul di summer. Nah, sebelumnya kami sudah kirim tujuh orang,” ungkap mahasiswa angkatan 2014 ini.

TOEFL atau IELTS bukan persyaratan pokok. “Tidak pakai TOEFL dan IELTS, jadi ngga usah takut soal bahasa Inggris, beberapa dari kita ke Malaysia kemarin, kayak Malaysia kemarin mereka mudeng bahasa Indonesia. Di AIESEC, TOEFL tuh ngga jadi persyaratan pokok,” kata Restu yang bergabung di Global Leader. Restu pun menambahkan, setelah kepulangan dari luar negeri, mereka harus membuat reintegration, yaitu mereka mempresentasikan apa yang telah mereka lakukan dalam proyek sosial, misalnya dengan menggunakan media Vlog.

 

Kesan dari Alumni AIESEC UKSW

“Dulu di Vietnam aku enam setengah minggu. Aku berangkat tanggal 2 September, aku pulang tanggal 19 Oktober. Waktu itu memang kebetulan waktu itu kan S2ku udah thesis dan selesai semua kuliah kan? Kayak memang waktu itu aku bener-bener kejar-kejaran banget waktuku. Jadi, aku pengen ketika aku pergi, aku udah lulus dan aku ngga punya tanggungan. Lulus itu dalam arti revisiku sudah selesai gitu. Terus akhirnya, aku ujian itu tanggal akhir Agustus aku ujian thesis, aku selesain revisi dalam waktu satu minggu dan urus segala macamnya. Tanggal 2 aku berangkat, terus tanggal 19 aku pulang, tanggal 22 Oktober aku wisuda. Jadi, bener-bener waktu itu aku ya memang pengorbanan sih, kayak temen-temen bisa santai revisinya, aku harus revisi dikerjain hari itu juga gitu. Pulang ujian, aku langsung ngerjain revisi. Jadi, kan biasanya setelah ujian seneng-seneng ya? Ya karena aku harus pergi, aku ngga mau punya beban akademis waktu aku masih di sana. Akhirnya, ya aku mengorbankan itu tadi,” tegas Cik Nia.

 

Testimoni Proyek Sosial Teaching dari Cik Nia

            “Kebetulan yang aku kerjain itu beda dengan project-project yang lain. Kalau project yang lain, mereka kan di sekolah jadi mereka kayak join sama guru-guru di sekolahnya. Mereka dikasih materi terus ngajari anak-anak di sana. Cuma, kalau aku projectnya itu ngajari anak-anak di panti asuhan yang tinggal di Pagoda. Jadi ya, mereka yang ngga punya orang tua, sekolahnya mungkin tidak sebagus mereka-mereka yang sekolah di sekolah yang fasilitasnya lebih oke dan segala macam. Nah, yang aku ajari itu variasi sih karena kan panti asuhan macam-macam (anak asuhnya ─red). Itu jadi mulai dari kelas umur lima tahun ada, sampai yang SMP, rata-rata kebanyakan mereka sih SD,” jelas Cik Nia.

“Yang paling berkesan itu, jadi karena aku volunteer pertama yang ke sana, memang kalau orang-orang Indo (Indonesia ─red) ke sana pun, pasti mereka ngga akan nyangka kalau kamu itu foreigner, orang luar negeri, karena mukanya itu serupa, setipe kan? Jadi, waktu pertama kali aku datang ke sana, aku juga ngga ngomong apa-apa karena aku ngga bisa bahasa Vietnam. Tapi, aku ada temen yang jadi asisten gitu kan, nah waktu pertama kali mereka mungkin tahu kalau aku dari luar Vietnam, aku dari Indonesia itu, yang aku lihat itu, mereka sangat excited gitu lho karena itu pertama kali mereka lihat orang luar negeri, datang ke sana itu pertama kalinya buat mereka gitu,” tambah Cik Nia.

“Momen pertama, ketika pertama kali aku datang, itu aku lihat, mereka sangat penasaran, jadi sampai kayak, aku dilihatin gitu, bedanya apa to, orang di Vietnam sama orang yang di luar Vietnam. Terus yang kedua, waktu itu ketika aku mau pulang mereka ada progress, yang tadi mereka ngga bisa ngomong perkenalan diri, pakai Inggris basic, sampai akhirnya ketika aku pulang mereka bisa gitu, pakai ngenalin diri, tanya apa kabar, jam, angka, dan segala macam. Terus waktu aku pulang, pasti pamitan dong, ya sedih-sedih juga sih. Mereka nangis dan mereka kasih aku gambar. Jadi, mereka menggambar sendiri dan mereka kasihin itu ke aku. Terus mereka tanya, gimana caranya menghubungi aku ketika aku sudah pulang? Mungkin momen-momen itu ngga hanya dari anak-anaknya aja, mungkin karena aku tinggal di kota kecil yang di Vietnam. Akhirnya, aku jadi sangat dekat dengan orang-orang lokalnya. Teman-temanku banyak yang orang Vietnam, itu karena mereka kayak jarang banget ngelihat orang asing gitu lho. Jadi, ketika ada orang asing ke sana itu kayak excited, pengen ngobrol, pengen lihat. Jadi, ketika aku pulang mereka ngeprint foto waktu aku sama mereka. Sampai sekarang pun, aku masih berhubungan sama mereka, bahkan kayak kemarin temenku kan kegiatan itu masih terus jalan. Jadi, temen-temenku yang di sana, yang dari Vietnam itu, mereka skypee aku dan bersama anak-anaknya di panti asuhannya. Jadi, aku bisa ketemu lagi kan sama mereka. Ya, itu aku sangat seneng banget sih. Sampai sekarang mereka masih ingat namaku juga. Ayo kapan bisa telpon lagi? (anak-anak panti asuhan menanyakan pada Cik Nia ─red). Ya, itu sih yang paling berkesan buat aku,” kata Cik Nia yang bersemangat menceritakan pengalamannya.

Rentang Waktu Pendaftaran AIESEC 2017 Mendatang

“Kalau UKSW dibuka saat winter dan summer, yang winter sudah diselesaikan kemarin (2015 ─red). Nah, summer ini baru dibuka (pendaftaran ─red) di Januari akhir dan Februari awal, buat berangkat di libur semester antara. Jadi, antara (pertengahan ─red) semester antara dan semester satu tahun 2017-2018 (semseter ganjil ─red), keberangkatanya sekitar bulan Juli Agustus gitu. Sekitar September bakal dibuka lagi (untuk pendaftaran winter ─red). Jadi, tiap tahun akan ada dua kali (putaran pendaftaran ─red),” tambah Restu.

 

Sponsorship Tersedia dari Universitas, Fakultas, dan Prodi

“Sebenarnya itu aku agak pesimis sih, karena aku volunteer pertama, dan bahkan fakultas ngga ngerti AIESEC itu apa, programnya itu apa, bener-bener ngga tau. Jadi, waktu aku memberikan penjelasan. Pertama, pendekatanya kan ke kaprodiku dulu. Kira-kira bisa bantu ngga, karena yang aku tau itu kan, pasti di fakultas ada dana pengembangan mahasiswa kan? Nah makanya, kalau kaprodiku bilang dia ngga bisa bantu, aku ngga berangkat, karena memang ya mungkin waktu itu aku mikir bukan rejeki. Lalu, aku tanya ke kaprodiku aku jelasin, aku ada kegiatan gini-gini, terus nilainya ini-ini, dan kalau aku pulang aku bisa gini-gini. Terus akhirnya, oke Nia bisa bantu dari Kaprodi magister bisa bantu. Lagi pula kebetulan Vietnam itu ngga terlalu mahal. Bahkan, mata uangnya lebih rendah dari Indo. Jadi, aku ngrasa kayak aman deh, maksudnya sengirit-ngiritnya amanlah, ngga akan mahal banget, gitu terus akhirnya, habis dari kaprodi akhirnya aku pendekatan ke wadek (wakil dekan ─red). Aku bilang kalau dari kaprodi mau bantu, nah kalau dari fakultas bisa bantu ngga ya,” jelas Cik Nia.

Cik Nia mengaku bahwa awalnya, dirinya menemui Koh Aldo (Koorbidkem FEB ─red) terlebih dulu untuk berkonsultasi perihal bantuan dana kemahasiswaan. Ternyata, Koh Aldo mengatakan bahwa kemahasiswaan S2 ditangani oleh wakil dekan dan tidak melewati Koh Aldo. Lalu, Cik Nia mencoba membuat proposal dan rincian anggaran. Saat itu, Cik Nia juga meminta dana dari aras universitas akan tetapi pihak universitas mengatakan bahwa semuanya harus melewati fakultas terlebih dulu.

Saat Cik Nia membuat rincian anggaran, ia mengajukan dana bantuan fakultas sebesar sepuluh juta rupiah. Alhasil, atas pertimbangan Kaprodi S2 Akuntansi, ia mendapatkan bantuan sebesar tiga juta rupiah. “Akhirnya aku ke wakdek, terus aku bilang, dari kaprodi bisa membantu sebesar tiga juta. Nah, kalau dari fakultas bisa ngga ya, Bu? Nah, kebetulan waktu itu ya mungkin Bu Ani (Wakil Dekan FEB ─red) excited gitu lho denger projectku gini. Akhirnya dia support, mungkin setelah melewati rapat dan pertimbangan, akhirnya aku dapat dari fakultas itu empat juta. Jadi, kalau di total, prodi dan itu aku dapat 7 juta,” ungkap Cik Nia kegirangan.

“Ini kan kegiatan untuk mahasiwa juga dan itu social project, ngga ngebenefitin siapa-siapa, karena benefitnya untuk orang-orang di sana yang kita bantu. Terus univ kan kasih ke semua secara rata to, aku dapat 2,5 juta dari univ, dan itu sangat lumayan, sangat mengcover (membantu ─red), karena kayak tiket aku kecover dari situ, mengurus visa pun aku kebantu dari situ, dan kalau untuk makan, aku pakai biaya sendiri, ya ada sih cipratan dari sisanya, ya cuma ada uang saku sendiri kan, cuma memang sangat terbantu,” tambah Cik Nia.

 

Saran dari Alumni AIESEC

Cik Nia berpesan bahwa ketika kandidat membuat CV dan motivation letter, tidak perlu terlalu formal, yang penting jelas dan menarik. Kandidat harus pintar dan jeli untuk mempromosikan diri kepada penyeleksi supaya dapat dipertimbangkan untuk lolos. Apalagi, ketika proyek sosial yang kita pilih adalah proyek besar atau terkenal, misalnya Sawadee (proyek teaching di Thailand). Selain itu, ia mengatakan bahwa sebaiknya ketika akan mengikuti program Global Volunteer, kita berkonsultasi pada kaprodi maupun fakultas supaya ketika mereka membantu, mereka tidak khawatir. “Nah, kemarin kan aku ngasih tahu Hilda, anak ICMAP, dia juga bikin proposal kan sama kayak aku, cuma yang dicover itu beda. Jadi, kalau yang Hilda itu ngga bisa dapat fakultas karena ngga setuju sama negara tujuan. Dia kan ke Turki, kalau fakultas kasih takutnya nanti, oh fakultas itu mendukung nanti kalau kenapa-napa gimana gitu lho,” imbuh Cik Nia.

***

Global Leader 2017

Untuk menjadi pengurus AIESEC UKSW, pertama, kandidat dapat mengirimkan berkas. Lalu, setelah berkas lolos seleksi, kandidat akan menerima email panggilan untuk mengikuti seleksi FGD (Focus Group Discussion). Setelah lolos seleksi FGD, maka kandidat akan diwawancarai oleh penyeleksi. Dalam sesi wawancara ini, kandidat harus menampilkan culture performance, seperti menari atau menyanyi. Selain itu, terdapat beberapa posisi yang dibutuhkan, seperti Marketing, Finance and Legal, International Operation, Sales, dan Talent Development.

Sekilas Global Talent

               “Ini jauh lebih kompleks, soalnya yang di Global Talent ini karena magang, itu ada yang sampai enam bulan bahkan dari beberapa case, mereka ada yang beneran lanjut kerja ke sana. Mereka ngambil magang di Australia, mereka magang di suatu field di sana yang bekerja sama dengan AIESEC. Di beberapa universitas itu ada yang menjadikan global talent sebagai magang mereka, kerja praktik mereka digantikan oleh AIESEC itu,” tukas Restu. Restu pun mengatakan bahwa AIESEC Indonesia sudah menyarankan untuk melakukan kerja sama untuk membuat proyek magang. Namun, AIESEC UKSW sendiri masih melakukan pengenalan secara perlahan untuk mematangkan program tersebut.

Armita Retno Wijayanti, mahasiswi program studi Akuntansi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Angkatan 2015. Pemimpin Umum LPM Ascarya Journalistik Club

Penyunting: Meliana Eka Wijaya

Leave a comment

Back to Top